Perjuangan Shahnaz Haque Hadapi Kanker Ovarium: “Curigai Semua Gejala”
shahnaz_haque_kanker_ovarium

Perjuangan Shahnaz Haque Hadapi Kanker Ovarium hingga Sembuh: “Curigai Semua Gejala”

“Nenek dan ibu saya meninggal karena kanker ovarium. Adik ibu juga meninggal karena kanker. Dari tiga bersaudara, saya yang dapat kanker,” ungkap Shahnaz Haque, figur publik penyintas kanker ovarium. Perjuangan Shahnaz Haque hadapi kanker ovarium terjadi pada tahun 1998 silam, ketika usianya baru menginjak 26 tahun.

Kanker ovarium sering kali tidak menimbulkan gejala apapun pada stadium dini, hingga disebut silent killer. ‘Beruntung’, Shahnaz mengalami gejala. “Saya tidak mens selama tiga bulan, padahal belum menikah, belum pernah berhubungan seksual. Artinya, tidak ada kehamilan,” ujar kelahiran 1 September 1972.

Berkaca dari pengalaman mendiang ibunya, Shahnaz tidak mau menganggap sepele gejala sekecil apapun. Ia segera memeriksakan diri ke dokter. Kepada dokter, ia bercerita mengenai riwayat kanker ovarium di keluarganya. Ia kemudian menjalani pemeriksaan USG perut, dan ditemukan benjolan pada ovarium kanan. “Tapi untuk memastikan apakah benjolan ganas atau tidak, harus dengan biopsi,” ujarnya, dalam webinar media Kampanye 10 Jari Mengenali Tanda Kanker Ovarium yang didukung AstraZeneca, beberapa waktu lalu.

 

Perjuangan Panjang Shahnaz Haque Hadapi Kanker Ovarium

Untuk melakukan biopsi, Shahnaz harus dioperasi dulu. “Kalau saat operasi ditemukan ganas, ovarium diangkat. Kalau cuma tumor, maka tumornya saja yang diambil,” ujar Shahnaz.

Mendengar harus operasi, Shahnaz ketakutan. Terbayang olehnya, ajal menjemput di usia yang masih sangat muda. Ia sempat stres, sampai-sampai nafsu makannya hilang.

Rasa takut membuatnya menunda pengobatan hingga satu tahun. Tak ayal, gejala yang dialaminya makin berat. Ia kesulitan BAB (buang air besar), dan sering buang air kecil, perut kembung, dan kesemutan di kaki kanan. Setengah lingkar pinggang bagian kanan juga sakit luar biasa, hingga membuatnya sulit berjalan.

Menyadari kondisinya makin memburuk, Shahnaz akhirnya mengambil keputusan. “Satu hal yang saya yakini, kanker ovarium adalah penyakit medis, bukan mistis. Saya harus mengambil pengobatan yang tepat,” tegasnya. Ia pun memberanikan diri berobat ke dokter. Selama 1999, dimulailah perjuangan Shahnaz Haque hadapi kanker ovarium.

Berdasarkan biopsi, ditemukan bahwa benjolan yang ada di ovarium kanannya ganas alias kanker. Ovarium kanannya pun diangkat. Pengobatan tidak berhenti di sana. Ia masih harus menjalani kemoterapi, untuk membersihkan sisa sel-sel kanker yang mungkin masih bercokol di tubuhnya.

Tiap kali sehabis kemo, Shahnaz muntah. Sulit sekali baginya untuk menerima makanan yang masuk ke perut. Belum lagi sariawan yang kerap “menghiasi” mulutnya dan tidak ada nafsu makan. Makin lama tubuhnya pun makin kurus. Bobotnya menyusut hingga 47-48 kg. Padahal, asupan makanan dan nutrisi sangat diperlukan oleh pasien kanker untuk mendukung pengobatan.

Shahnaz bersyukur, perjuangannya melawan kanker ovarium sudah berlalu. Tak terasa, sudah 22 tahun ia menjadi penyintas kanker. Ia selalu terbuka untuk menceritakan pengalamannya, hingga ia pun didapuk menjadi Duta Peduli Kanker Ovarium. “Sebagai penyintas harus berbagi cerita. Setiap kisah memberikan asa untuk pejuang lainnya,” ucap Shahnaz.

 

Shahnaz: “Curigai Semua Gejala”

Shahnaz mengingatkan untuk mencurigai semua gejala. Seperti dirinya yang saat itu belum menikah, belum pernah berhubungan seks, tapi tidak mens; pasti ada yang salah. “Saya curiga, dan langsung ke dokter. Badan kita tuh pinter. Dia pasti kasih tanda kalau ada yang gak beres. Cuma, kita kadang mengabaikan,” tuturnya.

Shahnaz masih ingat ketika merawat ibunya dulu. Sang ibu, Mieke Haque, baru ketahuan kanker ovarium saat sudah stadium 4. Prosedur operasi dimulai, tapi ternyata sudah terlambat. “Dibuka (perut bawahnya), lalu ditutup lagi. Tidak bisa dilakukan tindakan apa-apa. Kata dokter, “Bikin saja Ibu senang”,” kenang Shahnaz.

Sang ibu meninggal karena kanker ovarium pada 1991, persis 7 tahun sebelum Shahnaz mengalami gejala penyakit yang sama. Ini yang membuat Shahnaz cepat mengambi tindakan ketika mengalami gejala, “Ibu saya terlambat. Saya gak mau melakukan kesalahan yang sama.”

Shahnaz mengampanyekan untuk mengenali 10 faktor risiko dan tanda/gejala kanker ovarium, yang terangkum dalam Kampanye 10 Jari. Yaitu pertambahan usia, angka paritas (persalinan) rendah, gaya hidup yang buruk, riwayat kista endometriosis, riwayat keluarga, mutasi genetik, perut kembung, nafsu makan berkurang, sering BAB, dan nyeri hebat di perut dan panggul. Ia juga menegaskan, jangan takut dengan pengobatan kanker, “Takutlah dengan penyakitnya.”

Banyak perempuan takut, tidak bisa punya anak kalau indung telur (ovarium) diangkat karena kanker. "Hanya dengan satu ovarium, perempuan masih bisa hamil selama sel telurnya sehat. Kalaupun telurya sudah tidak banyak, jangan takut. Ada teknologi canggih untuk membantu kehamilan," papar Shahnaz. Shahnaz sendiri dikaruniai tiga orang putri bersama suaminya, Gilang Ramadhan.

Perjuangan Shahnaz Haque hadapi kanker ovarium berakhir baik. Ia berhasil bebas dari kanker, karena kankernya ditemukan pada stadium dini. “Kalau merasakan gejala, nggak usah ke dukun. Jangan lagi window shopping cari pengobatan alternatif. Langsung ke dokter. Karena kalau ke mana-mana dulu, nanti ke dokter sudah terlambat,” pungkasnya.

Bagaimana cerita Shahnaz Haque menyiasati "pohon kanker" yang begitu kuat di keluarganya? Simak artikel ini, Cerita Shahnaz Haque tentang Pohon Kanker Keluarga. (nid)

___________________________________________

Foto: IG Shahnaz Haque (@shahnaz.haque)