Saat ini semakin gampang kita menjumpai orang kelebihan berat badan, bahkan obesitas. Ternyata kejadian obesitas di kalangan orang muda makin tinggi.
Data Kementerian Kesehatan RI – melalui Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) – menunjukkan terjadi kenaikan prevalensi obesitas pada orang muda usia 18 tahun ke atas; 11,7% (2010), 15,4% (2013) menjadi 21,8% di tahun 2018.
Dr. Esti Widiastuti M.ScPH, Koordinator Substansi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM), Kementerian Kesehatan RI, menjelaskan obesitas juga dialami oleh anak-anak usia balita (bawah lima tahun).
Walau menunjukkan penurunan prevalensi, “Masalah ini sudah ada dari anak-anak. Obesitas pada balita adalah 8% di tahun 2018, turun ke 4,5% (2019) dan 3,8% (2021),” urainya dalam acara Festival Komunitas #BeatObesity 2022, Senin (7/3/2022).
Ia menegaskan bila obesitas tidak sekedar kelebihan berat badan, tetapi termasuk penyakit. Butuh intervensi luas dalam upaya pencegahan dan pengendaliannya.
Perubahan gaya hidup selama pandemi seperti konsumsi gula, garam dan lemak berlebih serta berkurangnya aktivitas fisik berpotensi meningkatkan risiko obesitas. Padahal, obesitas dapat meningkatkan risiko komplikasi penyakit tidak menular (PTM) seperti diabetes, penyakit jantung dan hipertensi.
International Diabetes Federation menyatakan masyarakat yang mengalami obesitas berisiko 8 kali lebih tinggi menderita diabetes. Riskesdas 2018 mencatat juga ada peningkatan risiko hipertensi 5 kali lipat dan penyakit jantung hingga 2 kali lipat.
Dalam kesempatan yang sama dr. Marya Haryono, MGizi, Sp.GK, FINEM, dari RS Siloam Kebon Jeruk, Jakarta menambahkan, “Dengan tingginya frekuensi kegiatan online selama pandemi ini, membuat anak muda memiliki kebiasaan ngemil atau mengonsumsi jenis makanan tinggi gula, garam, lemak sambil belajar atau bekerja, diikuti dengan kurangnya aktivitas fisik selama mereka di rumah, yang dapat menyebabkan lemak semakin menumpuk dan berisiko obesitas.”
Orang muda tidak boleh menganggap enteng obesitas, potensi menyebabkan penyakit sangat besar. “Saya sehat-sehat saja kok, walau sedikit gemuk. Ada teman yang obes tapi oke-oke saja,” dr. Marya mencontohkan anggapan yang banyak ditemui pada kasus obesitas di usia muda.
Tidak Hanya Faktor Makan
Obesitas, walau sebagian besar disebabkan pola makan berlebih, bisa juga dipicu oleh faktor genetik, perilaku dan lingkungan, obat-obatan maupun hormonal.
Menurut dr. Esti, beberapa studi menyebutkan anak-anak dari orangtua dengan berat badan normal tetap memiliki 10% risiko obesitas. Bila salah satu orangtuanya menderita obesitas, maka peluang itu meningkat menjadi 40–50%. Saat kedua orangtua menderita obesitas maka peluang mengalami obesitas menjadi 70–80%.
Demikian pula penggunaan obat-obatan jenis steroid dalam jangka waktu lama dapat meningkatkan nafsu makan, sehingga berisiko menyebabkan kelebihan berat badan dan obesitas.
Tips Lawan Obesitas
Obesitas harus dicegah sejak dini. Ada beberapa cara untuk mencegah atau melawan obesitas.
1. Ketahui komposisi tubuh
Secara umum dikategorikan obesitas adalah bila indeks massa tubuh (IMT) >27 atau lingkar perut > 90 cm (pria) dan > 80 cm (wanita); disebut obesitas sentral (buncit).
Tetapi hitungan ini tidak berlaku pada mereka yang sering olahraga angkat beban. “IMT bisa tinggi, tetapi ketika dilihat komposisinya sebagian besar otot. Atau sebaliknya, IMT normal, tetapi sebagian besar lemak,” kata dr. Marya.
Anda bisa mengukur komposisi lemak tubuh dengan alat portable. Biasanya tersedia di apotek atau klinik kesehatan.
2. Periksa ke dokter
Terutama pada mereka dengan berat badan berlebih atau obesitas, sangat dianjurkan untuk cek ke dokter. Tujuannya untuk melihat ada tidaknya penyakit terkait dengan obesitas.
3. Aktivitas fisik
Olahraga kontinyu 3-5 kali seminggu (30-60 menit setiap sesinya) dengan intensitas rendah sampai sedang, meningkat secara bertahap sesuai kemampuan.
Selain itu atur pola tidur / istirahat yang cukup. Ini penting untuk pemulihan dan pembentukan otot yang dipakai untuk olahraga.
4. Baca label nutrisi makanan kemasan
Membatasi konsumsi gula, garam dan lemak sesuai anjuran. Para ahli gizi merekomendasikan batas maksimal adalah 4 sdm (sendok makan) gula per hari, 1 sendok teh (sdt) garam per hari dan 5 sdm minyak/lemak per hari.
“Bila ingin mengonsumsi camilan jangan lupa baca label gula, garam, lemak dalam pangan kemasan,” dr. Marya menegaskan.
5. Atur emosi saat makan
Penting untuk mengatur emosi agar tidak makan berlebihan, karena akan cenderung memilih jenis makanan tinggi gula, garam dan lemak.
Selain itu, pola makan perlu memerhatikan jumlah, jenis dan jadwal makan. Perbanyak (2 x lipat) konsumsi sayur dan protein, dibandingkan karbohidrat, dalam satu porsi makan. (jie)