Bagi Echa Ersa Mayori (38 tahun) waktu terasa berjalan cepat. Si sulung Aiska Vairana tanpa terasa kini sudah hampir berusia 13 tahun. Kika – panggilan Aiska – saat ini sudah kelas 1 SMP. “Memasuki masa pubertas, anak mengalami perubahan hormon dan emosional. Dulu dia senangnya di-ucu-ucu, sekarang beda lagi,” papar Echa, panggilan akrab Ersa, sambil bergaya seakan mencubit pipi.
Anak, bagi Echa adalah tantangan yang bisa membuat worry. “Pengen sekali anak cepat besar. Waktu bayi, akui berpikir kapan anak bisa jalan. Sudah bisa jalan, pengen dia cepat masuk sekolah. Ketika sudah ABG (anak baru gede) dan untuk masalah tertentu anak mulai bisa mandiri, tantangan tetap ada. Sebagai ibu, saya terus belajar.”
Istri Otto Satria Jauhari ini menempatkan diri sebagai teman curhat. Ia yakin, ibu modern adalah yang bisa menempatkan diri sebagai teman, sehingga anak merasa nyaman saat in gin bercerita tentang apa pun. Termasuk dalam pendidikan seks dan kesehatan organ reproduksi. “Masalah ini memang bikin pusing. Beruntung, sekolah sudah menyiapkan lewat program keputrian. Dari dia kelas 6 SD sudah dipisah antara cowok dan cewek. Di usia segitu antara lawan jenis memang sudah mulai ada rasa tidak nyaman dan sebagainya,” katanya.
Echa boleh jadi mewakili sebagian besar orangtua, yang anaknya menginjak remaja. Norma dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat, masih menganggap seks sebagai sesuatu yang tabu. Sehingga orangtua kerap bingung dan bertanya-tanya, kapan dan bagaimana memulai topik bahasan tersebut.
Di sekolah ada pelajaran seks edukasi. Orangtua bisa melanjutkan di rumah. Pendidikan seks dimulai dengan mengenalkan fungsi organ reproduksi. Kematangan organ reproduksi wanita, ditunjukkan saat mulai menstruasi. Anak perlu lebih mengenal tentang area pribadi pada tubuhnya, sehingga bisa menjaga diri.
Masalahnya, kadang si anak mendapat informasi keliru. Beruntung, Kika anaknya terbuka. “Ia sering bercerita di sekolah dapat materi seks edukasi. Kami browsing bareng lalu diobrolin. Aku dan suami berusaha menyampaikan dengan bahasa yang mudah dimengerti. Sesederhana mungkin sesuai kapasitas usianya,“ ujarnya.
Kika sudah tahu apa yang harus dilakukan saat haid/mens pertama. Tidak perlu panik karena itu natural. Untuk mencegah agar anak tidak mengakses konten-konten dewasa, “Parental control di gadget (gawai) aku aktifkan.”
Langkah itu efektif karena ia sadar tidak bisa selalu mengawasi konten yang sedang diakses anak. Pornografi kadang disisipkan dalam bentuk games atau komik, yang secara tak sengaja bisa terbuka.
Kika senang bersosialisasi dengan teman sebaya. Biasanya teman peer group (satu kelompok) ada yang dijadikan panutan atau tolok ukur dalam bersikap. “Mesti dilihat, yang dijadikan panutan ini tipe yang bagaimana. Apakah memberi contoh baik, atau menjadi inspirasi yang buruk. Maka, penting untuk selalu berkomunikasi dengan anak remaja,” tuturnya.
Sejauh ini, si sulung belum tertarik memerhatikan lawan jenis. Ia masih asik dengan teman-teman ceweknya. Saat pulang sekolah, dia kerap curhat tentang teman-temannya. Misal, sedang sebal sama si A atau si B, grup musik mana yang sedang ngehits dan lain-lain.
Tapi, memang, sudah mulai memerhatikan penampilan. Kalau mau pergi mulai pinjam catokan. Karena badannya sudah setinggi mamanya, ia kadang meminjam sepatu dan baju mamanya. ”Dia suka bongkar-bongkar lemari, terus WA (whatsapp): boleh nggak pakai baju yang ini, atau pinjam sepatu mama yang ini,” ujar alumnus Fakultas Psikologi Universitas Atma Jaya, Jakarta, ini sambil tertawa.
Anak keduanya, Talullah Malaika (8 tahun) berbeda dengan sang kakak. Anak kedua ini sangat manja. “Kalau tidur maunya dikelonin. Kalau aku belum pulang dia bilang: mama kok gak pulang-pulang, nggak bisa tidur nih. Tapi, kalau aku pulang dia sudah tidur,” papar ipar sutradara Nia Dinata ini.
Ia kerap minta adik lagi. Echa menjelaskan, kalau punya adik, Ulla - panggilan anak kedua - harus mau berbagi. “Aku jelaskan, kalau punya adik berarti mama harus menyusui, waktu harus dibagi. Mendengar itu pendiriannya goyah. Katanya, oke tidak usah punya adik bayi. Hahaha.“
Toilet training
Terhadap kedua anaknya, Ersa menerapkan metode yang sama saat melatih kebiasaan ke toilet (toilet training), saat anaknya masuk masa transisi dari memakai popok ke lepas popok, sekitar umur 2-3 tahun. Ini untuk mengantisipasi anak ngompol. “Kadang anak berkata tidak ingin pipis, padahal pipis. Namanya juga anak-anak,” kenang Ersa. “Kalau BAB (buang air besar) lebih bisa antisipasi, ada gejalanya. Tiba-tiba mukanya mulai merah, diam saja, mulai mojok dan mulai tercium bau-bau tak sedap.”
Banyak faktor yang membuat anak ngompol, salah satunya karena keasikan bermain. Si anak tidak kuat menahan pipis sehingga ngompol di celana. Mengantisipasi hal tersebut, di siang hari Echa akan melepas popok anak dan tiap satu jam menanyakan apakah sang anak ingin buang air kecil (BAK).
“Atau kalau sudah dua jam, kita bawa anak ke kamar kecil, kita dudukkan di kloset. Lama-lama akan timbul rasa ingin pipis. Kita harus sabar dan konsisten menerapkan cara ini,” ujarnya. Sementara saat malam hari, popok bisa tetap dipakai. Tujuannya agar kualitas tidur anak oke. “Ibunya kan juga pengen tidur, capek begadang terus.”
Perhatikan asupan makanan
Sebagai pekerja seni dengan seabrek kegiatan, tidak membuat wanita kelahiran 19 Mei 1979 ini ‘lengah’ soal nutrisi untuk buah hatinya. Akhir pekan biasa dimanfaatkan untuk masak bersama. Ini cara untuk menghabiskan waktu bersama. Kadang yang dimasak bukan masakan besar, “Yang penting anak-anak bisa mengapresiasi masakan bersama.”
Anak-anak kebetulan suka masuk ke dapur, “Kalau lagi masak, gaya mereka sudah seperti chef profesional. Lengkap dengan topi dan apron-nya.” Mereka menyiapkan bahan-bahan yang tidak harus dipotong dengan pisau. “Urusan pisau dan menyalakan api kompor, tetap orang dewasa yang melakukan,” terang Ersa. (jie)