Suatu kali, Prof. Dr. dr. Sri Rezeki S. Hadinegoro, Sp.A(K) diundang ke sebuah acara diskusi. Tanpa curiga, ia mengiyakan. Ternyata, semua pesertanya antivaksin. “Ada seorang ibu bawa bayi di stroller. Dengan bangga dia bilang, itu anaknya yang keenam, semuanya sehat tanpa vaksinasi,” ungkap Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak FKUI ini.
Yang lain bercerita, ia ikut suami ke Italia setelah menikah. Di sana, dua anaknya mendapat vaksinasi lengkap. Pulang ke Indonesia, anak ketiganya tidak divaksin. Ia menyesal sekali anaknya dulu divaksin lengkap, karena ternyata berbahaya. “Mereka semangat sekali. Saya mikir, kalau saya ngomong keras percuma. Saya sendirian, jumlah mereka banyak.” Jadi, Prof. Sri memilih diam mendengarkan mereka berbicara, lalu meninggalkan kartu nama, “Kalau ada yang mau diomongin bisa kontak saya lewat e-mail.”
Yang sangat disesalkan Prof. Sri, di kelompok tersebut ada seorang dokter. “Dokter mengerti data, tapi data yang sama diputarbalikkan,” ungkapnya. Misalnya cakupan imunisasi 80%, maka ada 20% anak yang tidak terlindung dan bisa menjadi sakit. Oleh dokter yang antivaksin, pemikirannya dibalik menjadi, “Buat apa divaksin. Toh meski cakupannya sudah tinggi, anak masih saja meninggal.”
Indonesia termasuk tiga negara dengan jumlah anak yang tidak divaksin sangat tinggi. Beragam alasan yang dikemukakan orangtua, kenapa anaknya tidak divaksin. “Mungkin belum ada kesadarann bahwa vaksin adalah kebutuhan. Kalau di luar negeri, anak tidak diterima di sekolah kalau vaksinasinya belum lengkap. Di sini, law enforcement belum ada.”
Kok bisa dokter sampai antivaksin? “Saya juga gak habis pikir,” ia geleng-geleng kepala. (nid)