Seperti apa rasanya tidak punya hormon tiroid dan harus konsumsi hormon pengganti seumur hidup? Jenuh itu pasti. Tetapi jika berhenti konsumsi, tubuh tidak bisa berfungsi optimal, otak hank, dan risiko gangguan lebih berat juga mengancam.
Ini salah satu dilema yang dirasakan oleh Astriani Dwi Aryaningtyas, Pendiri dan Ketua Pita Tosca (komunitas bagi penyandang gangguan tiroid di Indonesia).
Ia mengakui hidup dengan penyakit tiroid itu tidak mudah. Namun tetap yakin untuk bisa berdaya kembali selama kondisi terkontrol. Astri, demikia ia disapa, terdiagnosa gangguan tiroid sejak remaja, bahkan pernah didagnosa kanker tiroid.
“Merefleksi pengalaman saya sebagai penyintas kanker tiroid, seorang Ibu yang juga memperjuangkan kestabilan kondisi tiroid ketika hamil dan kesehatan kelenjar tiroid anak-anak, penyakit tiroid bukanlah akhir segalanya; melainkan living sentence,” ujarnya di sela-sela acara White Paper Tiroid: Deteksi dan Skrining Dini Mencegah Dampak Penyakit Tiroid pada Ibu Hamil dan Bayi Baru Lahir, di Jakarta (5/11/2024).
Apabila penyakit tiroid tidak terdiagnosis dan tidak diobati, akan berdampak buruk pada kualitas hidup. Hilangnya produktivitas dan meningkatnya biaya pengobatan merupakan beban yang signifikan.
Baca: Waspadai Wanita Lebih Rentan Kena Hipotiroid
“Saya sudah kena gangguan tiroid sejak remaja, dan itu sangat menggangu kualitas hidup. Saat kuliah konsentrasi sangat menurun. Ada jeda dalam berpikir (dalam konsep IT disebut hank), sebutannya brain fog,” kata Astri.
Tidak mudah bagi ibu dua anak ini pada awalnya untuk menerima kondisi dengan gangguan tiroid. Membutuhkan waktu baginya untuk bersedia memeriksakan kondisinya,
“Saya kena gangguan anatomi yang nodul (ada benjolan di leher). Sebetulnya nodul itu ada yang teraba dan menjorok ke dalam (tidak terlihat). Kebetulan karena terlampau telat tahunya, jadi nodulnya sudah di area kelenjar getah bening, di leher pinggir kanan.”
“Setelah melakukan pemeriksaan penunjang, fungsi lab tiroid, kemudian ada USG dan biopsi (sebagai standar penegakkan diagnosa kanker tiroid), kemudian dilakukan tindakan operatif, hingga ablasi, di situ muncul kondisi patients experiencing yang tidak nyaman sama sekali,” urainya.
Dari muncul gejala, hingga terdiagnosis dan melakukan terapi rehabilitasi Astri merasa kualitas hidup sangat menurun. “Mungkin saat itu belum terlalu terekspos informasi (terkait gangguan tiroid). Akhirnya dokter yang mengingatkan terus: yuk kontrol rutin, yuk monitoring. Di situlah mulai ada peningkatan kualitas hidup,” Astri menerangkan.
Saat ini ia tetap mengonsumsi hormon tiroid seumur hidup.
Hamil dengan gangguan tiroid
Walau hidup dengan gangguan tiroid, bukan berarti tidak boleh memiliki momongan. Dalam kasus Astri, baru boleh hamil 6 bulan pasca-ablasi (pengobatan kanker tiroid).
“Hamil dengan tiroid di situlah dilakukan pemeriksaan rutin per bulan. Setelah bayi lahir (tahun 2015), saya diskrining, saya lakukan pemeriksaan TSH (thyroid-stimulating hormone). Anak saya juga diperiksa TSH neonatus (pemeriksaan THS pada bayi baru lahir, disebut skrining hiptiroid kongenital),” katanya.
Hal yang sama – skrining hiptiroid kongenital – ia lakukan pada baby keduanya di tahun 2018. Walau menunjukkan kenormalan pada kedua anaknya, pemeriksaan TSH tetap ia lakukan setiap tahun.
“Ini menjadi kado ulang tahun sampai detik ini. Kekhawatiran ke depan ini sebenarnya malah membuat kita jauh lebih aman kalau kita sehat. Atau, jika kita punya faktor risiko, ini bisa kita kendalikan,” terangnya.
Baca: Skrining Gangguan Tiroid melalui RAISE Tiroid
Anggap obat seperti nasi
Layaknya minum pil KB, obat hormon tiroid (misalnya levothyroxine) juga harus dikonsumsi setiap hari. Ini merupakan hormon tiroid buatan untuk menambah kadar hormon tiroid yang kurang. Dengan begitu, kadar hormon tiroid dapat kembali seimbang dan gejala hipotiroidisme bisa mereda. Obat ini dapat digunakan untuk hipotiroidisme atau setelah pengangkatan kelenjar tiroid.
Lantas apakah bosan harus minum obat hormon setiap hari? “Ada bosannya juga. Jenuh gitu, rasanya sampai kapan sih saya harus kayak gini,” ungkap Astri.
Namun pikiran tersebut bisa ditepis bila mengingat wejangan dokter: “anggaplah itu sebagai nasi”.
“Sebagai orang Indonesia kalau dikasih roti ya tidak kenyang. Jadi anggaplah itu (obat hormon) sebagai kebutuhan. Setelah ada mindset itu adalah kebutuhan, jadi kalau kita mau malas, bagaimana kita mau hidup, gimana caranya menjalani hidup. Dan itu titik di mana rasanya saya bisa bangkit lagi,” pungkas Astri. (jie)