Cedera saat bermain kerap terjadi pada anak-anak, bahkan juga bisa menyebabkan kematian. Orangtua disarankan tidak memberikan tontonan film superhero sebelum usia 6 tahun.
Data tahun 2019 menjelaskan cedera yang tidak disengaja adalah penyebab utama cedera dan kematian anak-anak di AS. Setiap tahunnya menewaskan lebih dari 6.700 anak di bawah 19 tahun dan melukai sekitar 6,8 juta anak. Cedera karena jatuh adalah penyebab utama cedera tidak fatal untuk semua anak di bawah 19 tahun.
Berbagai faktor perilaku membuat anak memiliki risiko cedera yang lebih tinggi, salah satunya permainan berisiko. Di satu sisi, kita berada di tengah-tengah “Zaman Keemasan Film Superhero”, dan berbagai sumber mengatakan bahwa anak-anak usia empat tahun terpapar acara TV atau film superhero bertema dewasa dengan frekuensi tinggi.
Tesis yang ditulis oleh Casie H. Morgan, dari University of Alabama, di Birmingham (AS), menjelaskan permainan pura-pura mulai muncul pada usia 2 tahun dan terus dilakukan hingga sekitar 6 tahun.
Jenis permainan ini sejatinya baik, sebagai cara anak belajar kemampuan emosional dan sosial. Bermain pura-pura dengan kakaknya, atau orang yang lebih dewasa meningkatkan kemampuan si kecil mengatur emosi. Namun di satu sisi, ini juga memiliki risiko tinggi menyebabkan cedera.
Anak-anak biasanya meniru pengamatan dari lingkungan mereka selama bermain pura-pura, misalnya pura-pura berbicara di telepon seperti yang ayah atau ibunya lakukan. “Jika anak-anak usia prasekolah terpapar konten superhero, maka permainan pura-pura cenderung melibatkan superhero dan perilaku mereka,” tulis Casie di jurnal online UAB Libraries.
Banyak perilaku berisiko cedera dilakukan selama permainan pura-pura, imbuh Casie, misalnya jungkir balik, terbang dari ayunan, menjaga keseimbangan pada benda tinggi, seperti perilaku pahlawan super idola mereka.
Misalnya, Spiderman dapat memanjat tembok, Flash berlari dengan kecepatan tidak realistis, dan Superman atau Ironman dapat terbang. Semua aksi khayal ini biasanya disertai emosi positif dan penuh petualangan. Mendorong si bocah untuk menirunya.
Anak-anak usia prasekolah juga terpapar pada tontonan superhero, seperti anak yang lebih besar, remaja atau bahkan dewasa. Ada banyak acara dan film superhero yang muncul di berbagai saluran TV, misalnya Nickolodeon, Disney Channel, Cartoon Network, hingga Netflix yang dirancang untuk kelompok usia mereka.
“Menurut sebagian besar forum parenting, titik awal bagi anak-anak untuk mulai menonton acara TV Marvel atau DC universe, seperti Teen Titans GO! atau animasi seperti Big Hero 6, adalah usia tujuh tahun,” terang Casie.
Bahkan banyak orangtua yang menyesal membawa balita mereka ke bioskop, imbuh Casie. Untuk mendukung keputusan mereka dalam membawa balita menonton film tersebut, orangtua lebih memilih untuk menekankan pembelajaran moral dari film supehero. Dengan demikian, mengurangi pengaruh negatif dan menyoroti perilaku prososial yang lebih berharga/positif dalam film tersebut.
Superhero mempengaruhi perilaku anak-anak
American Academy of Pediatrics (AAP) memperingatkan tentang perilaku berisiko akibat konsumsi/paparan media yang mengandung kekerasan oleh anak-anak. Ini termasuk acara TV atau film superhero.
Beberapa penelitian menemukan bahwa anak laki-laki yang lebih terpapar media superhero cenderung melakuan permainan seperti bermain senjata dan agresi, yang mengkhawatirkan. Meningkatkan risiko cedera yang tidak disengaja.
Fokus pada konten agresif
Anak-anak usia prasekolah masih kurang mampu mengembangkan fungsi moral dan sosial mereka. Mereka juga belum bisa memisahkan antara fantasi dan realitas.
Lebih jauh, mereka belum memiliki kemampuan yang cukup untuk berpikir kritis melalui penafsiran atas berbagai peristiwa. Menyebabkan mereka lebih fokus pada konten agresif dalam alur cerita, yang biasanya lebih menonjol dan repetitif.
Casie dalam tesisnya juga menekankan pentingnya pengawasan orangtua. Peningkatan pengawasan orangtua berkaitan dengan berkurangnya perilaku berisiko anak.
“Media superhero mungkin tidak serta merta meningkatkan perilaku berisiko atau perilaku prososial di antara anak-anak yang menonton siaran TV bertema superhero. Kualitas pengawasan (orangtua) tampaknya berdampak berbeda pada perilaku berisiko anak,” tulisnya. (jie)