Indonesia menduduki peringkat 6 untuk negara yang anak-anaknya belum mendapat imunisasi. Hal ini diungkapkan oleh Direktur Imunisasi, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI dr. Prima Yosephine, M.K.M., dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (15/10/2025). “Kondisi kita belum baik-baik saja. Penurunan capaian imunisasi anak menyebabkan banyak anak sakit,” ucapnya.
Kejadian luar biasa (KLB) campak di Sumenep, Madura, baru-baru ini salah satunya disebabkan oleh rendahnya capaian imunisasi campak di daerah tersebut. Sebanyak 17 anak meninggal dunia, dan lebih dari 2.000 anak suspek campak. Selain itu, imunisasi juga harus lengkap. Bila imunisasi anak tidak lengkap, ia rentan terkena PD3I (Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi). “Kalau anak sakit, dia bisa menularkan ke anak-anak lain di sekitarnya yang juga tidak divaksin. Akhirnya bisa terjadi wabah,” jelas dr. Prima.
Ia menegaskan, “Anak-anak yang belum lengkap imunisasinya, harus kita kejar dan lengkapi.” Untuk itulah, Kementrian Kesehatan menyelenggarakan inisiatif PENARI (Sepekan Mengejar Imunisasi) di seluruh wilayah di Indonesia.
Prof. Dr. dr. Hartono Gunardi, Sp.A(K) (kiri) dan dr. Prima Yosephine, M.K.M (tengah) dalam konferensi pers di Jakarta / Foto: Takeda
Imunisasi Anak Melindungi dari Penyakit Berbahaya
Salah satu keberhasilan nyata imunisasi yaitu punahnya penyakit campak dari muka bumi. Kasus polio serta kematian/kecacatan akibat polio pun sudah jauh menurun di seluruh dunia. Indonesia bahkan dinyatakan bebas polio pada 2014. Namun sayang, polio kembali muncul pada 2022 di beberapa provinsi, akibat menurunnya cakupan imunisasi.
Ketua Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Prof. Dr. dr. Hartono Gunardi, Sp.A(K) menegaskan bahwa imunisasi berperan penting dalam menyelamatkan nyawa anak-anak. “Imunisasi membantu tubuh membentuk kekebalan terhadap berbagai penyakit, dan merupakan langkah pencegahan yang sangat efektif,” paparnya.
Vaksin adalah imunisasi aktif yang memasukkan antigen ke tubuh, untuk merangsang kekebalan. “Melalui imunisasi, tubuh kita dilatih untuk mengenali, membentuk zat kekebalan untuk melawan penyakit dengan lebih cepat. Namun setelah vaksinasi pertama, antibodi yang terbentuk akan turun lagi. Bila kita vaksinasi lagi, antibodi akan naik lebih tinggi daripada sebelumnya. Itu sebabnya, imunisasi harus diulang-ulang terus,” jelas Prof. Hartono.
Ia juga meluruskan sejumlah miskonsepsi yang masih beredar di masyarakat. Misalnya saja, anggapan bahwa vaksin mengandung bahan berbahaya seperti logam berat. Memang vaksin mengandung aluminium yang berperan sebagai adjuvan, yaitu zat yang membantu meningkatkan dan memperkuat respons imun tubuh terhadap vaksin. “Namun jangan khawatir, aluminium akan dikeluarkan dan hilang dari tubuh. Kandungan aluminium di vaksin jauh lebih rendah daripada yang ada dari bahan makanan sehari-hari,” tuturnya.
Keraguan lain yang kerap mengganjal hati orang tua yaitu efek samping atau KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi). Padahal, KIPI biasanya hanya berupa demam, bengkak dan sakit di lokasi penyuntikan. “Bandingkan dengan komplikasi yang bisa terjadi akibat campak, misalnya. Anak bisa kena infeksi telinga, diare, radang paru, bahkan radang otak. Manfaat dalam pencegahan penyakit yang berbahaya dan menurunkan risiko sakit berat, kecacatan bahkan kematian jauh lebih besar, daripada risiko terjadinya efek samping yang ringan dan sementara,” tegas Prof. Hartono.
Sudah Imunisasi, tapi Masih Sakit?
Prof. Hartono menjelaskan, imunisasi tidak melindungi 100% dari penyakit. “Fungsi imunisasi itu ada dua: mencegah penyakit, dan memodifikasi penyakit agar tidak timbul efek yang berat,” ujarnya.
Secara umum, perlindungan dari imunisasi mncapai 85-99%. Ini turut dipengaruhi oleh status gizi anak, jenis penyakit, banyaknya kuman/virus yang menyerang masuk, serta kondisi lingkungan tempat tinggal anak. “Kalaupun mereka sakit, jauh lebih ringan dibandignkan yang tidak divaksin. Imunisasi tidak memberikan perlindungan 100 persen, tetapi membantu mengurangi risiko keparahan bila terinfeksi,” ujarnya.
Idealnya, imunisasi diberikan sesuai dengan jadwal dari Kemenkes. “Anak yang belum pernah mendapat atau tidak lengkap imunisasinya, perlu dikejar dan dilengkapi,” tandas Prof. Hartono.
Manfaatkan program PENARI untuk mengejar imunisasi yang belum lengkap. Program ini gratis, dan dilaksanakan sejak 2024. Tak hanya untuk bayi dan balita, PENARI juga untuk anak sekolah dan ibu hamil; bisa diakses di Posyandu, Puskesmas, dan fasilitas layanan kesehatan lainnya.
PENARI dilakukan tiga kali dalam satu tahun, yaitu saat Pekan Imunisasi Dunia (April), Dirgahayu RI (Agustus), dan menjelang Hari Kesehatan Nasional (November). Program PENARI mendatang akan dilakukan secara serentak di seluruh Indonesia pada 27 Oktober – 1 November. "Ini cara kita mengejar ketertinggalan cakupan imunisasi. Ini juga dilombakan, supaya jadi penyemangat untuk teman-teman di daerah. Di akhir, daerah yang tertinggi capaian PENARI-nya akan mendapatkan award," ujar dr. Prima.
PT Takeda Innovative Medicines menjadi mitra dalam kegiatan ini. Imunisasi anak maupun dewasa merupakan salah satu intervensi kesehatan paling berdampak dalam sejarah. Upaya ini telah menyelamatkan jutaan jiwa dan menjadi fondasi bagi masyarakat yang lebih sehat dan tangguh. Kami mengapresiasi kepemimpinan Kementerian Kesehatan dalam memastikan imunisasi tetap menjadi prioritas nasional dan terus memperluas akses bagi masyarakat di seluruh Indonesia,” pungkas Andreas Gutknecht, Presiden Direktur PT Takeda. (nid)
____________________________________________
Ilustrasi: Image by freepik