Tulisan ini tidak bermaksud untuk menakuti Anda, tetapi peneltian baru menyatakan bila penyintas COVID-19 mungkin mengalami penyusutan volume gray matter (materi abu-abu) otak. Waduh..
Pada eksperimen jangka panjang, Prof Gwenaelle Douaud, dkk, dari Nuffield Department of Clinical Neuroscience, John Radcliffe Hospital, Inggris, merekrut 782 sukarelawan. Mereka membandingkan scan otak sebelum pandemi.
Untuk analogi antara pencintraan (scan) otak sebelum dan sesudah pandemi, peneliti mengundang 394 penyintas COVID-19 untuk kembali mengikuti scan lanjutan, demikian juga 388 sukarelawan sehat.
Di antara partisipan yang sembuh dari COVID-19 tersebut, peneliti melihat efek signifikan COVID-19 di jaringan otak, dengan hilangnya (penyusutan) gray matter di otak. Namun perlu dicatat, riset ini belum ditinjau oleh sesama ilmuwan lain.
Para peneliti menjelaskan, “Temuan kami secara konsisten berhubungan dengan hilangnya materi abu-abu di area korteks limbik, yang secara langsung terkait dengan sistem penciuman dan pengecapan primer,” atau area di otak yang terkait dengan persepsi indera seperti penciuman dan rasa.
Gray matter otak adalah bagian dari sistem saraf pusat dan pada dasarnya mengontrol semua fungsi otak kita.
Ini memungkinkan seseorang untuk mengontrol gerakan, memori dan emosi, sehingga kelainan pada materi abu-abu otak dapat mempengaruhi keterampilan komunikasi dan sel-sel otak.
Sebagai informasi, sistem saraf pusat kita terdiri dari dua jenis jaringan, yakni materi abu-abu (gray matter) dan materi putih (white matter). Bila materi putih berperan dalam membawa impuls dari dan ke materi abu-abu, gray matter berfungsi untuk memproses informasi.
Studi ini juga menunjukkan bahwa berkurangnya volume materi abu-abu - di daerah yang berhubungan dengan memori otak - akan meningkatkan risiko pasien mengembangkan demensia (kepikunan) dalam jangka panjang.
Temuan ini mengikuti penelitian yang diterbitkan oleh jurnal Lancet Psychiatry tahun lalu, menunjukkan bahwa infeksi serius COVID-19 dapat merusak otak yang menyebabkan komplikasi jangka panjang seperti stroke atau gejala demensia.
Berdampak pada penyintas bergejala ringan hingga sedang
Sebagian besar penyintas COVID-19 yang terlibat dalam penelitian di Inggris ini mengalami gejala ringan hingga sedang, atau tidak sama sekali. Ini dipandang sebagai kekuatan analisis, karena sebagian besar publikasi terkait scan otak fokus pada kasus COVID-19 sedang hingga berat.
"Ada kebutuhan mendasar untuk informasi lebih lanjut tentang efek COVID-19 pada otak, bahkan dalam bentuknya yang paling ringan," tulis peneliti.
Penting untuk dicatat, bahwa perubahan jaringan otak tidak terlihat pada kelompok yang tidak terinfeksi.
Peneliti mengatakan dibutuhkan studi lebih lanjut untuk menentukan apakah penyintas COVID-19 akan memiliki masalah dalam jangka panjang terkait kemampuan mereka untuk mengingat peristiwa yang membangkitkan emosi.
Mereka juga tidak dapat memastikan apakah hilangnya gray matter adalah akibat dari virus corona yang menyebar ke otak, atau efek lain dari penyakit tersebut. (jie)
Baca juga: Ini Dia Efek Jangka Panjang COVID-19 Pada Fungsi Kognitif Otak