Organisasi Kesehatan Dunia WHO menyebutkan, sejak dimulainya wabah HIV (1981), lebih dari 70 juta orang telah terinfeksi virus ini dan sekitar 35 juta orang di dunia meninggal karenanya. Di akhir 2015, secara global 36,7 juta orang hidup dengan HIV.
HIV (human immunodeficiency virus) menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, membuat imunitas tubuh benar-benar rendah sehingga penderita sangat rentan terhadap berbagai infeksi. Sel imun yang diserang khususnya yakni limfosit T helper (CD4+ sel T). Makin rendah jumlah sel T CD4+, makin rentan seseorang mengalami infeksi. Ketika jumlah CD4+ turun hingga di bawah 200 sel/mm3, akan mudah terjadi infeksi. Kuman yang dalam keadaan normal tidak berbahaya, bisa menyebabkan infeksi fatal pada penderita HIV. Ini disebut infeksi oportunistik, dan merupakan penyebab kematian utama pada pasien HIV/AIDS.
Pada 1993, ditemukan bahwa virus HIV secara signifikan bereplikasi (membelah) di usus, saat infeksi awal. Sekitar 70% sistem imun bermukim di usus, termasuk ¾ dari sel-sel CD4. Selama infeksi HIV awal, serangan pertama dan paling hebat terhadap sistem imun terjadi di usus.
Virus HIV turut mengganggu pertahanan (barrier) usus, sehingga dinding usus yang seharusnya rapat jadi merenggang. Ini membuat sebagian bakteri dan produk yang dihasilkan ‘lolos’ dari usus ke aliran darah; disebut translokasi. Bila ini terjadi, sistem imun merespon dan menyerang, sehingga terjadi peradangan (inflamasi) di seluruh tubuh. Inflamasi yang terus menerus terjadi, bisa memunculkan kondisi seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, dan jenis kanker tertentu. Saat wabah HIV 1981, dilaporkan kanker Kaposi Sarcoma pada sekelompok lelaki di New York dan California.
Penelitian menemukan bahwa profil bakteri usus penyandang HIV/AIDS, berbeda dengan orang biasa. Pada penyandang HIV/AIDS, bakteri tidak terlalu beragam, dan spesies bakteri yang menjadi kunci usus sehat, berkurang.
Disbiosis (ketidakseimbangan bakteri) berkaitan dengan progresi penyakit, dan sebaliknya. Sebuah studi yang meneliti pasien-pasien yang baru terinfeksi, menemukan tingginya kadar bakteri asam laktat yang bermanfaat, berhubungan dengan jumlah CD4 yang lebih tinggi, virus yang lebih rendah, dan berkurangnya translokasi mikroba. Semua ini merupakan faktor prediksi bahwa penyakit membaik secara klinis.
Hubungan seksual merupakan salah satu cara utama penyebaran infeksi HIV. Yang menarik, infeksi bakteri di vagina (bacterial vaginosis/BV) sangat berhubungan dengan peningkatan risiko infeksi HIV. BV ditandai dengan menurunnya bakteri Lactobacillus penghuni vagina dan pertumbuhan bakteri patogen yang berlebihan. Asam laktat yang dihasilkan Lactobacillus, ditengarai dapat membunuh HIV. Maka, bila populasi bakteri ini berkurang, lingkungan vagina kurang asam sehingga HIV bisa bertahan. Lactobacillus tidak hanya memperkuat vagina, tapi menurunkan risiko berpindahnya HIV ke pasangan.
Pengaruh probiotik
Studi menemukan bahwa pelepasan reseptor CD4 oleh Lactobacillus, memungkinkan bakteri ini berikatan dengan virus dan mencegah infeksi HIV. Ini membuat para peneliti optimistis untuk melakukan riset, mengenai manfaat probiotik terhadap pasien HIV/AIDS; baik untuk mempertahankan fungsi imun maupun memperbaiki masalah yang berkaitan dengan usus. Sederhananya, probiotik adalah makanan/minuman yang mengandung bakteri bermanfaat.
Katia Falasca, dkk (2015) meneliti efek probiotik terhadap kadar sitokin, pada orang yang terinfeksi HIV. Sitokin adalah zat yang bersifat peradangan. Penelitian melibatkan 30 laki-laki dengan HIV dan mendapat terapi ARV (obat antivirus). Selama empat minggu, mereka diberi susu fermentasi yang mengandung L. casei Shirota strain, dua kali sehari. Hasilnya, L. casei Shirota strain berhubungan dengan peningkatan limfosit T dan sel-sel CD56+ (menurut sebuah studi, CD56+ bekerja sebagai mekanisme protektif, yang memperlambat progresi penyakit HIV). Turunnya peradangan dan risiko kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah) juga diobservasi. Disimpulkan, L. casei Shirota strain bisa menjadi cara yang murah dan praktis untuk mendukung fungsi imun pasien HIV.
Sebuah studi tengah dilakukan oleh University of Sao Paulo General Hospital, Brasil. Sebanyak 48 pasien HIV lelaki dan perempuan usia 18-60 tahun diteliti dalam studi ini. Mereka sudah mendapat ARV dan virus terkontrol, tapi pemulihan CD4+ jelek. Secara acak, mereka dibagi rata menjadi dua kelompok. Satu kelompok mendapat L. casei Shirota strain dan kelompok lain mendapat plasebo, satu kali sehari selama 12 bulan. Penelitian ini masih berlangsung dan diperkirakan selesai akhir tahun ini (Desember 2016).
Para peneliti memiliki hipotesis bahwa pemberian L. casei Shirota strain selama 12 minggu, akan meningkatkan kadar CD4+ sedikitnya 50 sel/mm3. Ulasan sistematik oleh Carter GM, dkk (2016), mendukung manfaat dan keamanan probiotik untuk pasien HIV. Berdasarkan analisis dari 27 studi, tampak kemungkinan manfaat probiotik terhadap jumlah CD4+, penanganan diare, serta penanganan BV. Tidak ditemukan kasus bakterimia atau fungemia (bakteri atau jamur di aliran darah) yang berhubungan dengan suplementasi probiotik, pada 39 studi dengan 9.402 subyek. Laporan efek samping ringan atau tidak ada.
Pada acara CROI (Conference on Retrovirus and Opportunistic Infections) Februari 2016 di Boston, Amerika Serikat, dipaparkan berbagai studi mengenai peranan mikroba terhadap pathogenesis dan prograsi HIV. Salah satunya yang dilakukan oleh Universitas Roma La Sapienza, Italia. Diteliti efek pemberian probiotik selama 6 bulan, terhadap translokasi mikroba pada 10 lelaki positif HIV yang mendapat terapi ARV. Studi ini menemukan, TH17 dan TH1 yang berperan dalam pertahanan tubuh, populasinya pulih di usus maupun dalam darah tepi (perifer). Juga ditemukan penurunan penanda selular pada aktivasi imun. Temuan ini menunjukkan manfaat potensial probiotik, untuk menurunkan inflamasi sistemik.
Yakult mengandung lebih dari 6,5 miliar L. casei Shirota strain. Konsumsi Yakult secara rutin dan kontinyu, membantu menjaga kesehatan usus dan tubuh secara keseluruhan. Berdasarkan studi, Yakult bisa bermanfaat bagi pasien HIV. (nid)