Tepat satu hari setelah kasus COVID-19 di Indonesia tembus 1 juta, Presiden Joko Widodo mendapatkan suntikan vaksin Sinovac yang kedua. Dalam kesempatan tersebut Presiden Jokowi mengatakan sekitar 250 ribu nakes sudah divaksinasi menggunakan vaksin Sinovac, dari target 900 ribu nakes yang akan divaksinasi.
Sementara di satu sisi diketahui ada mutasi varian baru virus corona di Inggris (varian B117) dan Afrika Selatan (varian 501Y.V2) yang 40-70% menyebar lebih cepat. Varian baru ini tercatat menyebabkan peningkatan kasus di rumah sakit di Inggris.
Lima negara Asia telah melaporkan varian baru virus corona dari Inggris. Yakni Singapura, Jepang, Lebanon, Yordania, dan terakhir Korea Selatan. Adapun Malaysia mendeteksi dari 60 sampel pasien di Sabah ini merupakan galur A701B, mirip dengan yang ditemukan di Afrika Selatan.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, SpP(K), MARS, menjelaskan terjadinya mutasi virus yang membentuk varian baru lumrah terjadi.
Apakah vaksin ini akan tetap bekerja terhadap varian baru? “Hampir mungkin iya, paling tidak untuk saat ini. Karena perubahannya hanya di satu dua (protein) spike virus,” tuturnya dalam Forum Diskusi Salemba, Rabu (27/1/2021).
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Perhimpunan Alergi-Imunologi Indonesia Prof. Dr. dr. Iris Rengganis, Sp.PD-KAI meyakinkan, varian baru virus corona dari Inggris tidak memengaruhi kerja vaksin yang sudah beredar saat ini. Namun untuk varian baru dari Afrika Selatan, masih dalam pantauan dampaknya terhadap kerja vaksin yang sudah ada saat ini.
Prof. Iris menyebut, mutasi virus bisa bersifat sederhana tetapi dapat juga bersifat besar-besaran. Misalnya, pada virus influenza yang berubah setiap tahunnya. WHO akan mengumumkan kepada produsen vaksin, strain virus apa saja yang akan beredar pada tahun selanjutnya. Sehingga, vaksin untuk virus influenza setiap tahun akan dibuat baru.
“Kalau untuk varian virus corona di Inggris, vaksin Sinovac masih bisa (tidak mempengaruhi efektivitas atau netralitas vaksin), karena mutasi hanya bersifat sebagian saja pada permukaan virus (spike protein).”
“Berbeda dengan penemuan varian Afrika Selatan yang menunjukkan dualitas. Kalau kadar netralisasinya tinggi itu baik, namun jika rendah tidak berhasil untuk dinetralisasi. Bisa jadi vaksin menjadi tidak efektif,” paparnya.
Menyesuaikan ulang vaksin
Prof. Tjandra - yang pernah bekerja di WHO regional Asia Tenggara - menambahkan hingga Desember 2020 sudah ada 61 kandidat vaksin yang telah memasuki tahap uji klinis dan 172 kandidat vaksin yang masih di tahap uji preklinis.
“Pada Januari ini para pembuat vaksin sudah mulai berpikir bagaimana dengan varian virus baru ini. Moderna bilang kalau mereka bisa me-repurpose vaksinya kalau vaksin tersebut sudah mulai tidak mempan,” katanya.
Hal tersebut dimungkinkan karena vaksin Moderna (dan Pfizer) menggunakan mRNA yang proses pembuatan lebih mudah, dibanding vaksin konvensional seperti yang dikembangkan Sinovac.
Tetapi walau muncul varian baru WHO menganggap vaksin yang ada saat ini – termasuk vaksin Sinovac – masih bisa menanggulangi mutasi baru virus corona. Membutuhkan waktu sekitar dua bulan untuk memastikan apakah vaksin yang ada saat ini terganggu efektivitasnya terhadap varian baru virus corona ini.
“Sekarang sudah sampai 1 juta kasus mungkin akibat libur panjang tahun baru, atau jangan-jangan karena varian baru ini. Perlu dicari sudah ada (di Indonesia) atau belum,” pungkas Prof. Tjandra. (jie)
Baca juga : Ada Varian Baru Virus COVID-19, Apakah Vaksin Masih Efektif?