Setelah terinfeksi dan berhasil mengalahkan virus COVID-19, tubuh membutuhkan waktu untuk memulihkan kekuatan dan kesehatan. Sayangnya, pada beberapa anak, kondisi ini tidak terjadi. Kondisi misterius berupa sindrom peradangan multisistem (multisystem inflammatory syndrome in children/ MIS-C; atau disebut paediatric multisystem inflammatory syndrome / PIMS) pada anak akibat COVID-19 tampaknya lebih berat dari penyakit aslinya.
Sindrom peradangan (PIMS / MIS-C) ini diketahui terjadi pada anak-anak di banyak negara, setelah dilaporkan pertama kali Mei 2020 lalu. Sindrom ini bahkan mengenai anak-anak dengan gejala ringan COVID-19.
Tetapi kasus ringan COVID-19 bukanlah jaminan bila serangan sindrom peradangan (PIMS / MIS-C) yang terjadi berikutnya tidak akan menjadi serius, bahkan terkadang fatal.
“Anak-anak tidak perlu memiliki gejala klasik COVID-19 untuk akhirnya berkembang menjadi MISC (PIMS), inilah yang menakutkan,” ujar Alvaro Moreira, dokter anak dari University of Texas Health Science Centre, di San Antonio, AS.
“Anak-anak bisa tanpa gejala, tidak ada yang tahu sebelumnya kalau ia terkena COVID-19, dan beberapa minggu kemudian menunjukkan gejala peradangan yang berlebihan di dalam tubuh.”
Baca : Ini Yang Perlu Anda Ketahui Tentang Sindrom Peradangan Pada Anak Akibat COVID-19
Moreira dan timnya melakukan tinjauan pada 40 penelitian tentang sindrom peradangan multisistem ini; melibatkan 662 pasien anak.
MIS-C / PIMS ini ditandai dengan peradangan berat multi organ, seperti jantung, paru-paru, ginjal, kulit, mata, bahkan otak. Gejalanya mirip dengan penyakit Kawasaki dan toxic shock syndrome, tetapi dengan derajat peradangan yang lebih berat.
“Itu bisa menjadi fatal karena mengenai berbagai sistem organ,” imbuh Moreira, dilansir dari Science Alert. “Entah itu jantung dan paru-paru, sistem pencernaan atau persarafan. Ia memiliki begitu banyak bentuk yang menantang bagi kami (dokter) untuk memahaminya.”
Dari 662 kasus yang tercatat di seluruh dunia, 71% anak-anak harus dirawat di perawatan intensif; rata-rata menjalani rawat inap sekitar 8 hari. Di setiap kasus, anak-anak mengalami demam. Sebagian besar juga dengan nyeri perut dan diare (73,7%), serta muntah (68,3%). Konjungtivitis (mata merah) dan ruam kulit juga banyak ditemui.
Sayangnya, 11 anak dalam riset tersebut meninggal. Walau rerata kasus meninggal akibat sindrom peradangan ini rendah (1,7% dari seluruh anak di studi ini), peneliti menujukkan bahwa angka ini sebenarnya jauh lebih tinggi daripada 0,09% angka kematian COVID-19 pada anak.
Sementara pada kasus anak yang sembuh, ada banyak kekhawatiran tentang efek lanjutan yang diakibatkan oleh MIS-C/PIMS pada organ hati. Dalam penelitian tersebut, 90% anak menjalani tes ekokardiogram (EKG), dan hasilnya lebih dari setengahnya (54%) menunjukkan kelainan.
Kelainan tersebut bisa berupa pelebaran pembuluh darah koroner, penurunan kemampuan jantung memompa darah ke jaringan tubuh, dan sekitar 10% pasien mengalami aneurisma pembuluh koroner, yang membuat mereka lebih berisiko mengalami serangan jantung di masa depan.
“Mereka membutuhkan pengamatan lanjutan untuk melihat apakah ini bisa diatasi atau mereka akan memilikinya selama sisa hidup mereka,” tandas Moreira.
Belum diketahui jelas penyebab sindrom ini
Para ilmuwan belum mengetahui secara jelas penyebab sindrom peradangan ini. Pada kasus yang diduga MIS-C/PIMS, deteksi dini dapat menyelamatkan nyawa anak-anak tersebut.
"Anak-anak biasanya akan menunjukkan gejala tiga -empat minggu setelah infeksi COVID-19 dan banyak yang berkembang pesat menjadi syok dan kegagalan kardiorespirasi," tulis penelitian yang dipublikasikan di the Lancet.
Orangtua perlu segera membawa anaknya jika terlihat mengalami kondisi ini. Sebagian besar memerlukan penanganan intensif. Namun, secara keseluruhan, anak-anak bisa selamat dengan pemberian steroid (antiperadangan) dan dalam beberapa kasus dengan agen imunomodulator. (jie)