Peneliti di pusat medis akademik Amerika Cleveland Clinic menemukan, sindrom patah hati meningkat selama pandemi COVID-19. Studi ini melibatkan 285 pasien dengan keluhan sindrom koroner akut (SKA) yang datang ke Cleveland Clinic dan Cleveland Clinic Akron General, selama 1 Maret – 30 April 2020. Mereka dibandingkan dengan 4 kelompok kontrol, yakni pasien SKA sebelum pandemi.
Hasilnya, pasien SKA yang didiagnosis dengan sindrom patah hati meningkat tajam: 7,8%, dibandingkan 1,7% pasien sebelum pandemi. Selain itu, mereka yang mengalami kondisi ini selama pandemi menjalani rawat inap di RS lebih lama ketimbang pasien yang dirawat sebelum periode pandemi. Tidak ada perbedaan besar dalam angka kematian, dan semua pasien yang mengalami sindrom patah hati memiliki hasil tes COVID-19 negatif.
Sindrom patah hati dikenal juga dengan nama kardiomiopati stres, atau kardiomiopati Takotsubo. Kondisi ini muncul sebagai respons terhadap stres, baik fisik ataupun emosi, dan menyebabkan disfungsi otot jantung. Gejalanya mirip dengan serangan jantung, seperti nyeri dada dan napas pendek-pendek. Gejala lain misalnya detak jantung tak beraturan, pingsan, tekanan darah rendah, dan syok kardiogenik. Yang terakhir ini adalah kondisi di mana jantung tidak mampu memompa cukup darah untuk memenuhi kebutuhan tubuh, akibat hormon stres pada sel-sel jantung.
Uniknya, meski gejala-gejalanya mirip serangan jantung, tapi biasanya tidak ada sumbatan pada arteri jantung. Namun memang, ventrikel (bilik) kiri jantung mungkin tampak membengkak.
Sebab sindrom patah hati meningkat
Penyebab sindrom patah hati belum sepenuhnya dipahami. Namun diyakini bahwa ini berkaitan dengan stres. Saat kita mengalami stres, fisik maupun emosi, tubuh bereaksi dengan mengeluarkan hormon stres. Nah, hormon inilah yang mengurangi kemampuan pompa jantung sementara waktu. Akibatnya, kontraksi otot jantung kurang efisien, atau jadi tak beraturan sebagaimana mestinya.
Pemimpin studi ini, Ankur Kalra, MD, menyebut, pandemi COVID-19 telah membawa berbagai tingkatan stres pada kehidupan manusia di seluruh dunia. “Orang tidak hanya khawatir bahwa dirinya atau keluarganya akan menjadi sakit. Mereka juga berkutat dengan masalah ekonomi dan emosi, masalah sosial, serta kemungkinan kesendirian dan isolasi,” tuturnya, dilansir dari sciencedaily.com. Ia melanjutkan, “Stres bissa memengaruhi tubuh dan jantung kita, seperti terbukti dalam meningkatnya diagnosis stres kardiomiopati yang tengah kita alami.
Untungnya, fungsi jantung pasien dengan sindrom patah hati umumnya pulih, dan sembuh dalam hitungan hari atau minggu. Namun demikian, tetap perlu berhati-hati. Kadang kala, kondisi ini bisa menyebabkan gangguan utama pada jantung atau MACE (major adverse cardiac event) dan pembuluh darah otak (serebrovaskular), tapi jarang fatal.
Pengobatan sindrom patah hati biasanya dengan obat-obatan jantung untuk menurunkan tekanan darah dan memperlambat detak jantung. Obat-obatan lain yang biasa diberikan dokter antara lain obat untuk membantu mengatasi stres.
Peneliti studi menyebutkan, dibutuhkan lebih banyak studi untuk melihat apakah tren ini juga terjadi di daerah lain di AS. Di Indonesia sendiri belum ada penelitiannya. Mungkin saja sindrom patah hati meningkat juga di sini. Bagi yang mudah merasa stres dan cemas, belajarlah untuk mengelola stres. Apalagi, kita tidak tahu kapan pandemi ini akan berakhir. Tetap jalankan protokol kesehatan seperti memakai masker saat keluar rumah, mencuci tangan, menjaga jarak, serta segera ganti baju dan mandi setelah keluar rumah. (nid)