Serangan epilepsi selalu diidentikkan dengan kejang berkelojotan. Tetapi ternyata ada bentuk lain serangan epilepsi. Mengenal bentuk serangan epilepsi - selain kejang- diperlukan agar pengobatan bisa sesuai target terapi.
Epilepsi disebabkan oleh lonjakan aliran listrik di otak yang berakibat rusaknya sel-sel saraf otak. Otak memiliki jutaan sel saraf yang mengontrol bagaimana kita berpikir, bergerak dan merasa, dengan mengirimkan sinyal listrik satu sama lainnya. Jika sinyal ini tiba-tiba terganggu dapat menyebabkan bangkitan epilepsi.
Serangan epilepsi pada sebagian orang bisa berupa perubahan perilaku dan kesadaran. Ia tiba-tiba bengong atau melakukan suatu hal tanpa disadarinya. Hilang timbul tanpa terasa.
“Kadang ini dianggap seperti kerasukan roh halus,” papar dr. Irawaty Hawari, SpS., dari Yayasan Epilepsi Indonesia.
Bentuk bangkitannya tergantung bagian otak mana yang terkena. Jika kena di otak bagian belakang -yang mengatur sensor penglihatan - bentuk serangan seperti mengalami halusinasi melihat bayangan.
Atau bila mengenai bagian luar otak (bagian pendengaran), bentuk bangkitan serangan bisa berupa halusinasi auditori. Dapat pula berbentuk rasa tidak enak di ulu hati.
Kejang parsial
Tanda khas serangan epilepsi berupa kejang umum, di mana tubuh, tangan dan kaki kaku (berlangsung 30-60 detik), diikuti kaki / tangan kelojotan (berlangsung 30-60 detik). Napas tampak berat dan dapat berhenti beberapa detik.
Biasanya kejang berlangsung 1-2 menit. ODE (orang dengan epilepsi) hilang kesadaran. Tetapi ada juga yang disebut kejang fokal/parsial; selama serangan ODE tetap sadar dan tahu apa yang terjadi.
Kejang fokal dapat menjadi kejang umum. Yakni saat kejang yang berasal dari satu bagian otak menyebar ke seluruh otak.
Gejala dapat berupa gerakan-gerakan di jari tangan (satu sisi), menyebar ke lengan dan tubuh di sisi yang sama. Kemudian menyebar ke seluruh tubuh. ODE biasanya merasakan jika akan kejang, sehingga bisa memberitahu orang lain.
Lampaui batasan diri
Dari sisi psikologi, ODE biasanya minder pada dirinya. Mereka mengalami penurunan percaya diri, bahkan depresi. Yang parah sampai mengarah pada perilaku bunuh diri.
“Jika ODE hanya fokus pada masalah-masalah pribadi tersebut, maka ia tidak akan sempat lagi mengenali potensinya atau beraktivitas mengembangkan potensinya,” kata Aska Primardi, SPsi, MA., psikolog yang juga ODE.
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan ODE untuk mengatasi hambatan. Pertama, konsumsi obat teratur. Kedua, mencoba menerima fakta bahwa dirinya adalah ODE. Emosi positif akan membantu ODE dalam memahami kelebihan dan keterbatasannya. Jika belum bisa bercerita pada orang lain, Aska menyarankan, untuk coba menulis guna menyalurkan pikiran negatif.
Coba kenali “aura” atau tanda yang muncul saat mau serangan. “Aura” bisa berupa rasa takut yang tidak diketahui sebabnya, mendengar / melihat sesuatu yang tidak ada. Bentuk “aura” berbeda-beda tiap ODE, tergantung bagian otak yang diserang.
“Jika muncul ‘aura’ segera hentikan aktivitas,” imbuh Aska.
Sebenarnya, tambah Aska, keterbatasan pilihan justru membantu ODE lebih mudah memilih potensi dirinya, ataupun pekerjaan yang dijalaninya. Beberapa pekerjaan memang tidak disarankan bagi ODE, seperti pekerjaan yang menggunakan alat-alat berat, berhubungan ketinggian atau supir /pilot.
ODE dapat menjalankan aktivitas sesuai minatnya, selama disesuaikan dengan daya tahan tubuh. Mereka lebih lemah dari orang normal, gampang lelah (terlalu lelah/kepanasan dapat memicu serangan).
ODE biasanya mengalami kesulitan dalam mengingat, disarankan melakukan latihan mengingat seperti bermain piano dengan membaca not balok, dll.
Yang tak kalah penting adalah dukungan keluarga. Baik berupa ‘instrumental’ atau dukungan dalam bentuk barang, seperti penyediaan obat, alat musik, dll. Bisa dengan menyediakan informasi yang membantu ODE memahami hal-hal yang memunculkan stres dan bagaimana solusinya.
“Dukungan emosional juga penting. Yakni meyakinkan bahwa ODE adalah individu yang pantas menerima perhatian, cinta dan simpati. Sehingga ODE juga merasa diperhatikan oleh orang lain,” pungkas Aska. (jie)
Baca juga : Epilepsi Tidak Berhubungan dengan Kecerdasan Seseorang