Masalahnya, “Dalam pembuatan margarin, minyak nabati diolah dengan proses hidrogenasi sebagian (partial hydrogenation),” ujar Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS, Guru Besar Ilmu Pangan dan Gizi Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga IPB, Bogor. Secara kimiawi, proses ini membuat beberapa ikatan rangkap dalam struktur molekul ALTJ lepas dan diisi atom hydrogen, dan terciptalah lemak trans.
Pada ALTJ tunggal, hanya satu ikatan molekul yang kehilangan salah satu atomnya. Pada ALTJ ganda, ada beberapa ikatan yang longgar. Maka, minyak yang tinggi ALTJ ganda seperti minyak jagung dan kedelai, lebih berpotensi menjadi lemak trans. ALTJ ganda juga mudah rusak saat dipanaskan.
Margarin di Indonesia, umumnya diproduksi dari minyak kelapa sawit, yang rasio ALJ dan ALTJ-nya seimbang (50:50), dengan 40% ALTJ tunggal dan 10% ALTJ ganda. Selain itu, “Margarin dari sawit tidak menggunakan proses hidrogenasi parsial, sehingga bisa dikatakan bebas lemak trans, atau kandungan lemak transnya sangat kecil.” Yang digunakan yakni proses emulsi dari hasil pencampuran (blending) minyak, hingga didapat kepadatan menjadi margarin. BPOM menetapkan, produk margarin boleh mengklaim bebas lemak trans jika kandungan lemak trans <1%.
Konsumsi margarin dan/atau mentega perlu dibatasi. Tubuh hanya memerlukan 30% lemak dari total kalori sehari, dengan pembagian 20% ALTJ (tunggal dan ganda), 10% ALJ. “Batas aman konsumsi butter tidak lebih 7% dari total asupan lemak harian,” ujar Dr. dr. Tati. Ini untuk antisipasi asupan lemak jenuh dari makanan lain, sehingga total ALJ >10%. (nid)