Pasien yang membawa-bawa hasil foto rontgen masih banyak kita jumpai di rumah sakit. Saat ini dengan teknologi digitalisasi radiologi, pasien tidak perlu membawa-bawa hasil rontgen. Bahkan pada kondisi gawat darurat hasil radiologi yang cepat dan akurat sangat membantu tindakan yang harus dilakukan dokter.
Saat ini beberapa rumah sakit di Indonesia telah menerapkan metode digitalisasi radiologi, menggunakan sistem PACS (picture archiving and communication system). Ini merupakan sistem pengarsipan digital dan komunikasi dalam bidang radiologi yang memungkinkan dokter untuk membaca, mengedit, atau melakukan perubahan warna terhadap hasil radiologi kapan dan dimanapun.
“Ini sangat bermanfaat terutama untuk pasien dalam kondisi gawat darurat, misalnya akibat kecelakaan yang membutuhkan tindakan cepat,” terang dr. Vonny N. Tubagus, SpRad(K), Sekertaris Jenderal Persatuan Dokter Spesialis Radiologi Pusat (PDSRI).
PACS mengintegrasikan hasil pencitraan berkualitas tinggi dari peralatan radiologi, seperti MRI (magnetic resonance imaging), CT scan 3 dimensi (3D), X-ray, USG atau alat pengukur kepadatan tulang dalam format digital. PACS menghilangkan kebutuhan film rontgen.
“Dengan kualitas gambar yang tinggi, dokter bahkan bisa melakukan zooming (pembesaran) pada hasil gambar radiologi. Ini berbeda dengan metode radiologi konvensional, di mana film rontgen yang dalam format 2 dimensi tidak bisa diolah lagi,” terang Wildan Djohany, selaku VP Business Development and IT Ramsay Sime Darby Health Care Indonesia di RS Premier Bintaro yang sudah menerapkan teknologi PACS.
Ia menambahkan salah satu yang mendasari perlunya digitalisasi radiologi (menggunakan PACS) adalah adanya keluhan para dokter bahwa hasil medis pasien belum diterima sementara dokter sudah berhadapan dengan pasien. “PACS memungkinkan dokter sudah menerima hasil medis pasien bahkan sebelum pasien memasuki ruangan,” terang Wildan dalam acara Manfaat dari Transformasi Digital di Rumah Sakit, yang berlangsung di RS Bintaro, Tangerang (6/9/2018).
Dr. Vonny menjelaskan teknologi digitalisasi radiologi ini bisa meningkatkan keberhasilan perawatan, terutama pada mereka yang dalam kondisi gawat darurat. “Pada kondisi kecelakaan atau stroke, pasien dikirim ke unit radiologi untuk dilakukan CT scan, prosesnya 1 menit. Dari sana akan terlihat jika ada perdarahan otak. Kondisi ini butuh penanganan cepat, kalau telat bisa meninggal atau kondisi lebih buruk,” paparnya.
Dibandingkan dengan metode konvensional, hasil pemeriksaan harus dipilih kemudian dicetak/print. Misalnya dalam CT scan 128-slice (irisan) akan menghasilkan 128 gambar. Petugas radiologi tidak akan mencetak semua gambar, melainkan memilih mana yang abnormal. Sangat membutuhkan butuh waktu.
“PACS akan menghilangkan proses cetak, semua gambar langsung dikirim ke dokter klinisi. Pasien belum sampai ke ruangan, dokternya sudah bisa baca hasil CT scan dan bisa langsung mempersiapkan penanganan,” imbuh dr. Vonny.
Keuntungan lainnya adalah mengurangi paparan radiasi alat X-ray (foto rontgen) atau CT scan. Digitalisasi radiologi memungkinkan gambar untuk diedit (terang, kontras atau warnanya). Sementara pada teknologi konvensional kerap kali membutuhkan X-ray ulang untuk bisa mendapatkan hasil yang diinginkan; paparan radiasi dua kali lipat.
Sebuah studi oleh Frost & Sullivan dilakukan di RS Premier Bintaro, Tangerang. Peneliti membandingkan tingkat kunjungan balik, biaya dan jumlah pemeriksaan pada bulan November 2015 hingga Januari 2016 (sebelum diterapkan sistem PACS), dan November 2016 sampai Januari 2017 (setelah memakai PACS).
Riset tersebut merupakan hasil penghitungan dari 10.000 tindakan radiologi. Hasilnya didapati adanya pengurangan biaya yang dikeluarkan rumah sakit hingga 31% (karena berkurangnya pemakaian film rontgen), mempersingkat waktu tunggu pasien 38% dan meningkatkan ketepatan diagnosa sampai 10% karena kualitas gambar yang lebih baik. (jie)