Penyandang Down syndrome atau sindrom Down (SD) umumnya memiliki kecerdasan di bawah rata-rata, yang sering kali membuat hati orangtua hancur begitu mengetahui bahwa bayinya menyandang SD. Disabilitas intelektual memang bagian dari sindrom Down, bervariasi dari ringan hingga berat.
Namun bukan berarti orangtua lantas pasrah dan membiarkan saja anak SD tanpa upaya untuk menstimulasi. Tidak sedikit anak SD yang berhasil meraih prestasi gemilang. Siapa tak kenal Stephanie Handojo, atlet renang peraih medali emas di Special Olympic World Summer Games 2011, dan segudang prestasi lainnya. Termasuk menjadi pembawa obor Olimpiade London 2012. Stephanie adalah satu-satunya anak berkebutuhan khusus dan penyandang tunagrahita pertama yang jadi pembawa obor dalam ajang olahraga dunia paling bergengsi itu.
“Prestasi Stephanie tidak lepas dari kerja keras ibunya,” ungkap Spesialis Rehabilitas Medik, dr. Luh Wahyuni, Sp.RM(K). Ya, orangtua berperan penting dalam perkembangan anak SD, seperti anak lainnya. Yang pasti, segera periksakan anak begitu mencurigai SD. Akan dilakukan pemeriksaan darah dan pemeriksaan kromosom untuk memastikan bahwa itu betul SD, karena ada penyakit lain dengan tampilan fisik yang mirip SD.
Baca juga: "Down Syndrome", Tambahan Kromosom 21 dengan Beragam Masalah Kesehatan
Selanjutnya akan diperiksa kondisi mata, telinga, jantung, dan lain-lain, untuk melihat gangguan apa saja yang dialami anak akibat sindrom Down-nya. Lalu dokter akan melihat keterampilannya melalui gerakan bahu, leher, dan kemampuan dasarnya. Setelah semua dirasa cukup baik, barulah dilanjutkan ke tahap berikutnya, yakni intervensi terapi dan stimulasi/latihan.
Secara bawaan, pada umumnya anak SD mengalami hipotoni atau otot yang lemah (letoi). Namun lagi-lagi, harus dicari dulu penyebab letoinya. “Bisa karena ada ganggguan pada hormon tiroid. Kedua, harus diperiksa apakah letoi ini karena status gizinya jelek. Sudah hipotoni, lalu gizinya jelek, ya tambah letoi,” papar dr. Luh.
Baca juga: Anak "Down Syndrome" Suka Melempar, Belum Tentu Hiperaktif
Ketiga, “Apakah ada penyakit jantung? Karena gangguan jantung bisa menyebabkan lemas, nggak kuat, cepat capek.” Keempat, memamg hipotoni adalah bagian dari SD. Namun bagaimanapun, dokter tidak bisa semata menyatakan demikian; harus cari kemungkinan penyebab lain.
Kalau yang lain sudah teratasi dan hipotoninya memang bagian dari sindrom, maka harus dilatih. Ibaratnya, latihan itu mendorong anak untuk bergerak. “Tapi kalau semisal nutrisinya kurang, hormon tiroidnya terganggu, atau ada masalah di jantung, meski didorong untuk latihan tidak akan maju. Kalau sudah aman semua, baru kita latih,” tutur dr. Luh.
Terapi dan stimulasi
Intervensi ini melibatkan berbagai macam terapi: fisioterapi, terapi okupasi, terapi wicara, rehab medik, hingga konsultasi ke psikolog. Tentu juga konsultasi dan terapi dengan dokter lain sesuai dengan kebutuhan anak; misalnya dengan dokter mata bila ia mengalami gangguan penglihatan. Intervensi ini sebaiknya dilakukan sebelum anak berusia dua tahun, agar hasilnya bisa optimal. “Tidak bisa bekerja sendiri, perlu team work,” tegas dr. Luh.
Jadi, kondisi anak harus diperiksa dulu, baru ditetapkan seperti apa latihan dan stimulasinya. Latihan yang diajarkan oleh terapis harus dilanjutkan di rumah. “Akan diperiksa, bagian mana yang harus dilakukan orangtua di rumah, mana yang bagian dokter dan tim rehab medik. Harus dipastikan dulu bahwa ini aman, tidak bisa dilakukan begitu saja,” tutur dr. Luh.
Misalnya stimulasi untuk memperkuat leher anak, maka orangtua akan diajarkan cara menggendong yang benar. Bagaimana agar si bayi bisa menumpu kepalanya dengan baik dan bisa mengangkat kepalanya. Bila hanya dibaringkan saja, dia tidak akan berkembang dan tidak bisa apa-apa. “Orangtua pegang peranan yang sangat penting,” tandas dr. Luh.
Baca juga: Anak "Down Syndrome" Bisa Sekolah, Perhatikan 4 Hal Ini
Perlu diingat, ‘modal’ tiap anak berbeda-beda. Ada anak SD dengan berbagai macam masalah kesehatan, ada juga yang tidak. Demikian pula tingkat intelekttualnya. Kondisi tiap anak sangat individual, dan faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap perkembangannya kelak. “Bila status nutrisi anak bagus, status ekonomi keluarga OK, stimulasinya sangat baik, jadilah seperti Stephanie,” ucap dr. Luh.
Namun, bisa saja ada anak yang mungkin kondisinya sama, tapi status ekonomi orangtua kurang baik. Nutrisi dan stimulasinya kurang, dan tidak punya kesempatan untuk sekolah dan menjalani terapi. Akhirnya, perkembangannya tidak optimal.
Jangan pernah berhenti berusaha untuk si buah hati. Gali terus minat, bakat dan kemampuan anak; seperti anak lain, mereka hanya perlu diberi kesempatan dan dukungan untuk bisa bersinar. “Yang pasti, orangtua harus punya banyak ‘vitamin’: cinta, sabar, dan kreatif,” pungkas dr. Luh. (nid)
_________________________________
Foto diambil dari akun Instagram leonard.charleston