Meski usia sudah kepala 6, Maria Katarina Renvilliati Soemedi yang tinggal di Wonosobo, Jawa Tengah, masih tetap bersemangat dan aktif. Ia sering pergi belanja ke pasar sendirian. Jalan-jalan sampai ke Jogjakarta pun, yang memerlukan waktu beberapa jam, tidak masalah. Tak tampak dari roman mukanya bahwa ia adalah penderita gagal ginjal, yang secara rutin harus menalkukan cuci darah atau hemodialisis (HD).
“Anak-anak sih suka melarang, terutama yang bungsu. Mereka bilang ngeman ibu nek loro piye (kami semua sayang ibu, kalau sakit bagaimana). Tapi saya kan bosan juga kalau terus-terusan di rumah. Jadi, saya kadang-kadang “nyolong” pergi ke pasar. Pulang-pulang saya membawa barang belanjaan, ha ha ha,” wanita yang akrab disapa Ibu Rin ini terkekeh.
Di RSUD Wonosobo, Ibu Rin adalah pasien tertua yang menjalani cuci darah karena kedua ginjalnya sudah tidak lagi berfungsi. “Mereka yang sama-sama cuci darah, rata-rata usianya di bawah saya. Kalau ada pendatang baru (pasien HD) entah muda atau tua, biasanya mereka masih shock. Supaya mereka ‘berani’ dan tidak takut-takut lagi, dokter atau suster biasanya memanggil saya,” papar Ibu Rin. “Mereka bilang: ini lho, beliau sudah tua tapi tidak apa-apa kok melakukan HD.”
Melihat Ibu Rin yang penuh senyum dan tanpa beban, pasien yang untuk pertama kalinya mau cuci darah, biasanya menjadi percaya diri dan tidak ragu-ragu lagi.
“Saya bisa maklum,” ujar Ibu Rin. “Kalau masih awal melakukan HD pasti shock. Saya juga dulu begitu.”
Ibu 4 anak dan nenek 6 cucu ini mengingat-ingat pengalamannya dulu. “Saya sempat berpikir, untuk apa hidup kalau istilahnya hanya sekedar hidup-hidupan dan tergantung pada mesin pencuci darah. Kondisi badan ngedrop, mual, muntah, lemas, mau melakukan ini itu tidak semangat. Saya pernah bertanya kepada dokter : sampai kapan saya harus menjalani cuci darah? Kata dokter: pokoknya kalau badan sudah terasa segar, cuci darah tidak perlu. Tapi, kalau badan mulai kerasa tidak enak, ya harus cuci darah,” katanya.
Ibu Rin mulai menjalani cuci darah April 2009, waktu itu usianya sudah 61 tahun. Awalnyamenderita sekali. Bayangkan, selang dipasang lewat selangkangan yang pembuluh darahnya besar. Kalau bergerak sedikit saja, jarum bisa meleset, darah tidak mengalir dan jadinya bengkak serta memar. Setelah pemasangan alat di tangan kanan, sekarang terasa lebih enak. Jarum tinggal dicolok ke alat tersebut.
“Semakin saya tidak menerima keadaan saya, semakin saya nglokro (tidak bersemangat). Setahun lebih rasanya saya sudah tidak punya semangat hidup. Tapi anak-anak terus mendorong dan menyemangati saya. Mereka bilang: ibu mau cuci darah saja kami sudah senang kok. Dokter dan suster juga menyemangati. Mereka bilang: serahkan saja semuanya kepada Tuhan. Yang mengalami gagal ginjal tidak cuma Ibu, dan kenyataannya mereka bisa melewati dengan baik. Kalau urusan umur atau meninggal, itu yang tahu hanya Yang di Atas. Kita manusia tidak tahu kapan.
“Dan memang benar. Setelah saya pasrah, saya merasa badan malah sehat. Saya mulai enak makan, enak tidur dan bisa jalan-jalan kesana kemari. Saya tidak lagi berpikir kapan sembuhnya. Yang penting, bagaimana caranya supaya saya tetap sehat dan mengisi hari-hari,” katanya.
Ia melihat banyak penderita gagal ginjal yang harus menjalani HD, tidak punya cukup motivasi. “Ada pasien yang baru 4-6 kali cuci darah, sudah tidak pernah datang lagi. Obrolan kami sesama pasien cuci darah, pasien tersebut sudah pindah ke ‘sukabumi’, maksudnya sudah meninggal,” ujarnya.
“Memang waktu awal cuci darah hasilnya belum terasa. Nanti setelah 4-6 kali baru terasa,” ucapnya. Dalam seminggu, Ibu Rin cuci darah 2 kali, setiap Rabu dan Sabtu. Setiap kali cuci darah membutuhkan waktu sekitar 4 jam. Sekarang karena sudah terbiasa, “Saya bisa berangkat sendiri ke rumah sakit naik ojek, baru pulangnya dijemput.”
Ia sadar, dengan ginjal yang sudah tidak berfungsi, ada sejumlah pantangan atau hal-hal yang tidak boleh dilanggar. Misalnya, tidak boleh makan ayam potong, jeroan, emping. Buah melon hanya seiris per hari, jeruk separo sehari. Durian yang enak bagi orang sehat, sudah tidak boleh. “Dulu, karena kepingin, saya pernah melanggar makan duren, hampir satu buah dimakan semua. Besoknya badan rasanya tidak karuan dan harus opname 5 hari di rumah sakit, ha ha ha,” ia tertawa.
Batunya seperti Jahe
Awalnya, Ibu Rin menderita batu ginjal. Ia mengakui kurang menjaga pola makan. Menyantap petai, yang mestinya dihindari, adalah hobinya. Seperti layaknya orang dengan masalah pada ginjal, badannya sering terasa pegal, terutama di bagian punggung dan perut bagian bawah.
“Itu tahun 2003. Batunya masih kecil di ginjal sebelah kiri, jadi cukup dilaser. Saya pikir, masalah sudah selesai. Setelah merasa badan lebih kuat, saya minta pulang. Kata dokter: Ibu mau kemana? Tunggu dulu, itu batu yang di ginjal kanan belum diambil.”
Ternyata, batu di ginjal kanan lebih besar sehingga tidak bisa ditembak dengan laser. Harus dibedah. “Batunya segede jempol, bentuknya seperti jahe, ha ha ha. Saya di rumah sakit sampai 2 bulan waktu itu,” ujarnya.
Merasa bahwa masalahnya sudah selesai karena batu sudah diangkat, Ibu Rin “lenggang kangkung”. Apa saja yang dirasa enak di lidah, dimakan. Akhirnya, kembali badannya tidak enak. Mirip ketika ia mau menjalani operasi batu ginjal dulu. Badan gembung dan terasa sebah (begah). Ketika periksa di Rumah Sakit Pantirapih, Jogja, dinyatakan tidak ada batu ginjal.
Dokter menduga ada masalah di saluran keluarnya racun. Ibu Rin dioperasi lagi. Kali itu dipasangi selang dari bawah langsung ke ginjal, untuk mengeluarkan urin. Jalan 2 bulan, tetap saja ia tidak bisa pipis. “Dokter bilang, saya menderita gagal ginjal. Memang setelah diperiksa, fungsi ginjal saya tinggal 30%. Saya harus cuci darah.”