Anak Indonesia Kekurangan Vitamin D – Temuan dan Rekomendasi Studi SEANUTS II
anak_Indonesia_kekurangan_vitamin_D

Anak Indonesia Kekurangan Vitamin D – Temuan dan Rekomendasi Studi SEANUTS II

Studi South East Asian Nutrition Surveys II (SEANUTS II) menemukan bahwa banyak anak Indonesia kekurangan vitamin D dan kalsium. Hal ini disampaikan oleh Prof. Dr. dr Rini Sekartini, peneliti utama SEANUTS ii di Indonesia. “Anak-anak di Indonesia belum memenuhi rekomendasi kebutuhan rata-rata harian untuk kalsium (78%) dan vitamin D (92%), sehingga menimbulkan risiko serius bagi pertumbuhan dan perkembangan mereka,” ungkap Prof. Rini.

Secara keseluruhan, temuan SEANUTS II menunjukkan tiga beban malnutrisi di Asia Tenggara: kekurangan gizi, kelebihan berat badan, dan kekurangan mikronutrien. Stunting dan anemia utamanya banyak terjadi di kelompok anak yang lebih muda. “Namun pada kelompok anak yang lebih tua, justru banyak dijumpai masalah kelebihan berat badan dan obesitas,” ujar Prof. Rini, yang juga merupakan Guru Besar di Fakultas Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia.

SEANUTS II merupakan kelanjutan dari SEANUTS I yang dirilis pada 2013. SEANUTS adalah studi yang dlakukan di empat negara Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Thailand dan Vietnam). Studi yang digagas oleh FrieslandCampina bekerjasama dengan akademisi dan pakar gizi di empat negara tersebut mempelajari bagaimana kondisi anak-anak di keempat negara tersebut serta tantangan pemenuhan gizinya, sehingga bisa dicari solusi yang tepat.

Di Indonesia, SEANUTS II bekerjasama dengan peneliti di Universitas Indonesia. Penelitian melibatkan 3.456 anak usia 0,5 tahun hingga 12 tahun. Ditemukan bahwa bahwa prevalensi stunting pada anak di bawah usia 5 tahun di wilayah Jawa-Sumatera mencapai 28,3%. Artinya, 3 dari 10 anak berperawakan pendek. Lebih jauh, adapun prevalensi anemia adalah 17,9%. Sementara itu, 16% anak usia 7–12 tahun mengalami kelebihan berat badan/obesitas.

Prof. Rini (tengah) bersama para jurnalis dalam pemaparan studi SEANUTS II / Foto: Ngobras

Anak Indonesia Kekurangan Vitamin D dan Mikronutrien Lain

Mikronutrien atau zat gizi mikro adalah zat gizi yang dibutuhkan dalam jumlah kecil. “Zat gizi ini tidak menyumbang energi, tapi penting untuk mendukung pertumbuhan anak,” terang Prof. Rini, dalam paparan SEANUTS II di Jakarta (8/11).

Sangat disayangkan, banyak anak Indonesia kekurangan vitamin D dan kalsium, padahal keduanya sangat penting untuk mendukung tinggi badan dan tulang yang kuat. Defisiensi vitamin D di Indonesia sebenarnya cukup ironis karena sinar matahari sangat berlimpah di negara kita, sepanjang tahun. Sebagaimana kita ketahui, paparan sinar matahari akan mengaktifkan pro vitamin D di bawah kulit.

Lantas, mengapa anak Indonesia bisa sampai kekurangan vitamin D? “Yang bermanfaat untuk mengaktifkan vitamin D itu sinar matahari di atas jam 9, sedangkan di waktu itu anak-anak justru sedang belajar di kelas,” ujar Prof. Rini.

Temuan ini serupa dengan SEANUTS I, dan disampaikan oleh Frisian Flag Indonesia kepada Kementrian dan Kebudayaan kala itu. Diluncurkanlah Gerakan Nusantara pada 2013, yang mndorong anak-anak untuk lebih aktif bergerak. Jadwal istirahat di sekolah disesuaikan dengan jam optimal untuk terkena sinar matahari. “Yang penting, anak-anak terpapar sinar matahari dulu,” ujar Andrew F Saputro, Corporate Affairs Director Frisian Flag.

Tak hanya vitamin D, anak Indonesia juga masih banyak yang mengalami anemia, yang berhubungan defisiensi mikronutrien lain yaitu zat besi. Anemia juga merupakan masalah yang harus segera diatasi karena anemia bisa menurunkan kecerdasan anak, serta turut menghambat tumbuh kembangnya.

Optimalkan Sarapan

Temuan lain dari SEANUTS II yang tak kalah pentng yaitu kebiasaan sarapan, yang ternyata berperan besar dalam menyediakan nutrisi penting untuk pertumbuhan anak. “Di Indonesia, hanya 32% anak berusia 2 hingga 12 tahun yang mengkonsumsi sarapan yang memadai,” ucap Prof. Rini.

Ia menegaskan, sarapan tak cukup hanya asal kenyang, tapi juga harus padat gizi. “Sumber karbohidrat bisa apa saja, tapi cukup satu jenis. Jangan misalnya mie campur nasi. Untuk protein bisa satu atau dua jenis. Sayur kalau memungkinkan; buah tidak perlu karena waktunya sempit,” papar Prof. Rini.

Susu boleh diberikan sebagai tambahan. Menurut temuan SEANUTS II, konsumsi susu saat sarapan memiliki hubungan erat dengan peningkatan kualitas diet anak-anak. “Secara umum, anak-anak yang mengkonsumsi susu saat sarapan memiliki asupan mikronutrien esensial lebih tinggi, terutama untuk kalsium dan vitamin D,” imbuh Prof. Rini.

SEANUTS II mendefinisikan sarapan sebagai makan pertama setelah tidur semalaman, dikonsumsi setelah bangun tidur dan sebelum pukul 12:00 siang (termasuk semua makanan yang dikonsumsi, kecuali air putih, teh, dan kopi tanpa susu). Sementara produk susu meliputi produk susu hewani (cair dan bubuk), yoghurt, dan keju dengan ketentuan satu porsi per hari.

Temuan ini bisa menjadi rekomendasi dan dorongan bagi pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, tenaga kesehatan profesional, sekolah-sekolah, industri, dan utamanya untuk keluarga Indonesia, bahwa minum susu minimal satu kali sehari saat sarapan dapat membantu pemenuhan nutrisi anak yang penting bagi pertumbuhan.

“Kandungan kalsium dan vitamin D di susu kan tinggi. Jadi relevan kalau kita anjurkan untuk diminum saat sarapan,” ujar Andrew. Dalam 5-10 tahun mendatang, semoga tidak ada lagi anak Indonesia kekurangan vitamin D dan mikronutrien penting lainnya. (nid)

____________________________________________

Ilustrasi: Image by jcomp on Freepik