Saat ini sekitar 2,3 miliar orang menderita anemia. Asia Tenggara dan Afrika menjadi daerah dengan tingkat prevalensi anemia tertinggi di dunia, mewakili 85% dari total kasus global. Riset juga menyatakan anemia bisa menyebabkan infeksi COVID-19 yang lebih berat.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan adanya peningkatan jumlah penderita anemia sebanyak 38,5% pada kelompok usia 0-59 bulan; 32% peningkatan di usia 15-24 tahun; 27,2% pada wanita; dan 48,9% untuk ibu hamil.
Prof. Dr. Zulfiqar A. Bhutta, Co-Director of the SickKids Center for Global Child Health, mengatakan anemia merupakan kondisi di mana jumlah sel darah merah atau oksigen yang dibawa tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan fisiologi yang diperlukan.
“Penanganan anemia dan defisiensi zat besi pada anak-anak dan wanita usia subur di berbagai belahan dunia masih sangat lambat dan berdampak dengan hilangnya sumber daya manusia secara signifikan.”
“Tantangan ini diperparah dengan pandemi COVID-19 dan berbagai konsekuensi ekonomi yang terjadi. Deteksi dini anemia secara menyeluruh dan penanganan yang tepat harus menjadi prioritas global,” ujar Prof. Bhutta, dalam acara P&G Blood Health Forum, yang diadakan secara virtual, Senin (2/11/2020).
Yang perlu diperhatikan adalah anemia tidak hanya menyebabkan lemah, letih, lesu, tetapi juga mempengaruhi keparahan infeksi COVID-19. Penderita anemia yang terinfeksi virus corona berisiko lebih berat dibanding yang tidak anemia.
Sebuah meta-analisa (membandingkan beberapa penelitian) tentang pengaruh anemia pada pasien COVID-19 dilakukan oleh Timotius I Hariyanto dan Andree Kurniawan, dari Fakulas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. Anemia tampaknya berhubungan infeksi COVID-19 yang lebih berat.
Pasien anemia memiliki kadar hemoglobin (sel darah merah) yang rendah. Di dalam sirkulasi darah hemoglobin mengangkut oksigen ke organ.
Kondisi Ini menyebabkan gangguan transportasi oksigen dan memicu hipoksia, yang pada akhirnya menyebabkan gangguan fungsi berbagai organ, terutama paru-paru. Gangguan fungsi organ tersebut berkontribusi pada infeksi COVID-19 yang lebih berat.
“Apalagi pada infeksi COVID-19, keadaan anemia pada pasien bisa bertambah parah, karena interaksi virus SARS-CoV-2 dengan molekul hemoglobin menyebabkan hemolisis (hancurnya sel darah), menyebabkan terjadinya hiperferritinemia (meningkatnya sirkulasi dan jaringan ferritin; protein yang mengikat zat besi) sekaligus memicu defisiensi besi serum dan kekurangan hemoglobin,” tulis peneliti.
Hiperferritinemia bisa memicu respons berlebihan sistem imun (badai sitokin) sehingga menyebabkan hasil akhir penyakit yang parah.
Riset sebelumnya oleh Reade MC, dkk (dimuat di jurnal BMC 2010) mendapati bila anemia banyak terjadi pada pasien pneumonia, dan dikaitkan dengan tingkat kematian dalam 90 hari yang lebih tinggi. Pneumonia (radang paru) juga terjadi pada infeksi virus corona.
Blood Health Forum
Kondisi aneme selama pandemi ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Aalok Agrawal, Senior Vice President, P&G Health - Asia Pacific, Middle East and Africa, mengatakan, anemia rentan mempengaruhi perempuan dan anak-anak.
“Melalui P&G Blood Health Forum, kami menyambut para pakar terkemuka bidang anemia, fisiologi zat besi, dan kesehatan gizi untuk bertukar wawasan dan bekerja sama dalam mengatasi permasalahan kesehatan anemia secara global,” katanya.
Forum ini dihadiri oleh lebih dari 2.500 peserta dari seluruh sektor layanan kesehatan Asia termasuk 600 dari Indonesia. Peserta yang terlibat dalam forum ini terdiri dari spesialis terapeutik seperti dokter kandungan dan ginekolog, dokter spesialis anak, dokter umum, dan ahli hematologi. (jie)