Bisa berakibat fatal, “Trombosis merupakan penyebab kematian yang dapat dihindari,” ujar Prof. Dr. dr. Karmel Lidow Tambunan, SpPD, KHOM yang praktik di RS PGI Cikini, Jakarta. Mencegah VTE (venous thrombo-embolism) perlu mengenali faktor risiko, yang mencakup genetik, kurang aktivitas fisik, berbaring >3 hari, perjalanan >4 jam, operasi atau luka besar, berat badan berlebih, kehamilan, usia lanjut dan kondisi medis misalnya kanker. Juga, mereka yang berusia >45 tahun dan memiliki faktor risiko lain misal penyakit jantung, stroke atau emboli paru dalam riwayat keluarga, atau sudah ada gejala seperti kaki terasa sakit/pegal dan bengkak.
Diagnosis DVT (deep vein thrombosis, trombosis pada vena dalam) ditegakkan dengan USG kompresi; seperti USG pada ibu hamil.
“Sebagian besar trombosis bisa dicegah,” tegas dr. Cosphiadi Irawan, Sp.PD-KHOM, FINASIM dari RS Cipto Mangunkusumo. Lakukan latihan fisik secara rutin dan teratur, “Dengan latihan, aliran darah lancar. Tapi 44% orang tidak sadar bahwa latihan fisik bisa mengurangi risiko trombosis.”
Jaga berat badan (BB) ideal; untuk orang Indonesia, indeks massa tubuh (IMT) tidak lebih dari 25. Cara menghitung IMT: BB dibagi tinggi badan (TB) dalam meter kuadrat. Misalnya BB 55 dan TB 160, maka 55:1,62 = 21,4. Stop merokok karena dapat merusak pembuluh darah, dan meningkatkan risiko darah melengket. Bila melakukan perjalanan panjang, lakukan senam kaki atau jalan-jalan di lorong pesawat minimal tiap 2 jam.
Orang dengan faktor risiko tinggi/menengah, perlu lebih berhati-hati. Yang darahnya cenderung lengket/kental, perlu minum obat agar tidak sampai terjadi trombosis. Konsultasi ke dokter bila hendak melakukan perjalanan jauh. Mungkin perlu mengenakan stoking khusus, agar tekanan pada pembuluh darah tetap baik. Dalam kondisi tertentu, “Bisa dipasang vena cava filter, sehingga bila ada trombosis yang lepas, akan tersangkut di filter, tidak masuk ke jantung dan paru,” papar dr. Chospiadi.
Pencegahan sekunder dimaksudkan untuk mencegah kekambuhan. Pilihan obat, dosis dan berapa lama pengobatan, disesuaikan dengan kondisi pasien. “Kadang, pasien perlu obat seumur hidup,” ujar dr. Chospiadi. (nid)