soft drink minuman menyegarkan tidak terbukti ganggu kesehatan

Minuman Bersoda yang Menyegarkan,Tidak Terbukti Mengganggu Kesehatan

Minuman bersoda atau minuman berkarbonasi sudah dikenal sejak awal abad 19. Sampai kini, popularitasnya tak terbendung. Orang dewasa, remaja dan anak-anak menyukainya. Minum soft drink di hari yang panas, atau ketika sedang haus terasa nyesss.  

Minuman bersoda atau Soft drink adalah minuman yang ke dalamnya “ditembakkan” gas karbon dioksida (CO2) bertekanan tinggi. Tujuannya untuk memberi sensasi lebih segar dan menciptakan rasa nyesss.

Rasa yang menyegarkan, apakah mengganggu kesehatan? South Asia Food & Agriculture Science &Technology (SEAFAST)Center, bekerja sama dengan IPB (Institut Pertanian Bogor) melakukan studi, dengan membedah berbagai jurnal ilmiah yang sudah dipublikasikan di seluruh dunia. Metode penelitian berbasis systematic review; para peneliti secara sistematis memasukkan kata kunci (search), yang berkaitan dengan karbonasi pada minuman dan efeknya bagi kesehatan.  Hasilnya dikerucutkan pada berbagai hasil studi pada manusia selama 10 tahun terakhir, di negara-negara dengan tingkat konsumsi minuman soda yang tinggi.

“Pada tahap pencarian data diperoleh 156 artikel, menyusut menjadi 108 setelah dikurangi artikel ganda. Pada proses penyaringan atau skrining, 22 artikel relevan dengan topik ‘Efek karbonasi’. Artikel dikaji lebih lanjut dan menyisakan 20 tulisan,” ujar Dr. Puspo Edi Giriwono, peneliti dari SEAFAST Center.

Tulisan dikelompokkan menjadi 3. Pertama, yang berhubungan dengan kesehatan gigi; keasaman (pH) rendah dikuatirkan dapat merusak email gigi. Kedua, GERD (Gastroesophageal Reflux Disease) atau masalah kerongkongan. Tekanan CO2 dalam minuman dianggap mampu mengurangi tekanan pada sekat lambung, sehingga memicu naiknya asam lambung. Ketiga, berhubungan dengan kanker kerongkongan.

Ada pro kontra mengenai minuman berkarbonasi.  Ada pendapat, minuman ini dapat  membersihkan karat dan toilet. Kecurigaan lain karena ingredient minuman soda, selain CO2 adalah gula, zat pengasam dan perasa, sehingga dinilai menyebabkan obesitas sampai kanker.  

Sejak minuman berkarbonasi mulai dipasarkan secara luas dan komersiil, hingga kini telah melewati waktu lebih 120 tahun.  Selama kurun waktu itu, belum terbukti  telah memunculkan gangguan kesehatan.

Karbonasi dan kesehatan gigi

Melarutkan CO2 dalam minuman, membuat minuman memilik kadar asam tinggi. Menurut Dr. Puspo, minuman berkarbonasi berpeluang merusak email gigi.  “Tapi tidak serta-merta merusak email gigi. Itu lebih pada mereka yang sudah lebih dulu memiliki karies gigi (gigi berlubang),” paparnya. 

Studi di AS tahun 2009, kerusakan gigi hanya ditemukan pada peminum minuman berkarbonasi yang telah mengalami kerusakan gigi lebih dulu. Kondisi itu membuat tingkat keasaman ludah dan rongga mulut menurun, dan meningkatkan erosi pada email gigi.

Prof. Dr. Made Astawan, ahli gizi dan pakar teknologi pangan IPB menyatakan, pH minuman berkarbonasi 2,4 – 4. “Asam karbonat memiliki pH yang sama dengan jus jeruk, apel atau anggur. Kalau gigi normal, bisa dipertahankan keasamannya,” katanya dalam acara “Kupas Fakta Tentang Karbonasi Dalam Minuman” beberapa waktu lalu. 

Refluks gastroesofagus

Bagaimana hubungan minuman berkarbonasi dengan GERD, atau naiknya kembali asam lambung?  Hasil analisa tim peneliti menunjukkan, semua minuman berkarbonasi menurunkan 30-50% tekanan pada sekat lambung hingga 20 menit.  Ini menyebabkan asam lambung dapat kembali (naik) ke kerongkongan, menyebabkan iritasi dan peradangan.

Namun, peneliti juga mendapati, minuman berkarbonasi bukan penyebab tunggal. Dari 4 penelitian tahun 1999, 2005, 2006 dan 2008 tidak dapat disimpulkan secara pasti, minuman berkarbonasi menyebabkan refluks asam lambung. “Ada sebab lain seperti obesitas, makan terlalu banyak atau rokok,” jelas Dr. Ponco.

Dr. dr. Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, menyatakan GERD terjadi karena pengosongan lambung terlambat, akibat terlalu banyak mengonsumsi makanan yang mengandung coklat, keju dan makanan berlemak. Kopi dan stres menyumbang dengan membuat produksi asam lambung berlebihan.

“Pada yang sebelumnya tidak memiliki GERD, minum soda tidak menimbulkan GERD. Kalau sudah GERD, minum langsung sesaat setelah botol dibuka akan meningkatkan keluhan, seperti sakit dada,” jelas dr. Ari. “Pada orang normal, rasa begah akibat minuman berkarbonasi, justru dapat merangsang gerakan perilstaltik usus. Artinya, merangsang rasa ingin BAB (buang air besar).”

Kanker esofagus (kerongkongan)

Beberapa artikel medis terkini memusatkan perhatian pada dampak lebih lanjut GERD, yaitu kanker esofagus. Kanker ini penyebabnya berbagai faktor, seperti kebiasaan merokok dan alkohol. Menurut dr. Ari, kanker kerongkongan timbul setelah GERD berlangsung bertahun-tahun. Asam lambung yang naik ke kerongkongan lama-lama menyebabkan peradangan pada permukaan sel, sehingga memicu pertumbuhan kanker.

Studi di AS tahun 2006 mengamati  488 pasien kanker esofagus. Didapati,  tidak ada kaitan yang nyata antara karbonasi dengan kanker kerongkongan. Hasil pengamatan ini didukung hasil studi di Italia (2007), terhadap 304 pasien kanker esofagus. Juga studi di Swedia (2006) dan Australia (2008). Hasilnya, tidak ditemukan hubungan minuman berkarbonasi dengan kanker esofagus. Faktor dominan pemicu kanker kerongkongan adalah rokok, obesitas dan alkohol.

Penelusuran dan kajian ilmiah memperlihatkan, unsur karbonasi pada minuman tidak memperlihatkan dampak yang nyata pada mayoritas populasi orang sehat. (jie)


Ilustrasi: Ernesto Rodriguez from Pixabay