Kepanikan mengenai virus korona COVID-19 kembali melanda, menyusul pernyataan Presiden Joko Widodo soal dua pasien positif korona di Indonesia. Penyakit akibat virus COVID-19 belum ada obatnya, dan belum ada vaksinnya. Karenanya, sangat krusial untuk bisa mendeteksi penyakit secara dini, sehingga pasien bisa segera diisolasi. Dua pasien korona di Indonesia, diduga sudah lebih dari seminggu lalu menunjukkan gejala sakit. Ini menjadi kasus korona pertama yang terkonfirmasi di Indonesia.
Berdasarkan pedoman terbaru oleh pemerintah Tiongkok, diagnosis COVID-19 harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan RT-PCR (reverse-transcription polymerase chain reaction), atau gene sequencing untuk sampel darah/lendir dari saluran napas. Pemeriksaan untuk mendiagnosis korona COVID-19 sudah bisa dilakukan di Indonesia. Namun dengan keterbatasan pengumpulan serta transportasi sampel, serta keterbatasan peralatan, rerata hasil positif total dari pemeriksaan RT-PCR untuk sampel lendir tenggorokan dilaporkan hanya sekitar 30% - 60%.
Dua pasien positif korona di Indonesia, dilaporkan memiliki riwayat kontak dengan warga Jepang yang kemudian diketahui terinfeksi korona. Kedua pasien ini menunjukkan gejala demam, pilek, batuk, sesak napas dan lemas, dan berobat ke RS di Depok. Diagnosis awal, mereka terkena tifoid dan ISPA, serta diduga terinfeksi COVID-19.
Dengan kondisi yang makin gawat seperti sekarang, sensitivitas RT-PCR yang relatif rendah mungkin akan berdampak pada banyaknya pasien yang terlambat diidentifikasi, sehingga tidak mendapat penanganan sebagaimana mestinya. Padahal menilik dari cepatnya virus ini menyebar, pasien bisa begitu mudahnya menularkan virus ke orang-orang sekitarnya, tanpa ia sadari. Dua pasien positif korona di Indonesia, baru dikonfirmasi setelah >1 minggu menunjukkan gejala.
Sebuah penelitian yang dilakukan di RS Tongii, Wuhan, Tiongkok, menunjukkan hasil menarik. Studi ini melibatkan 1.014 pasien, dan hasilnya dipublikasi di jurnal ilmiah Radiology. Dalam studi ini, peneliti menyelidiki nilai diagnostik dan konsistensi CT scan dibandingkan RT-PCR dalam mendiagnosis penyakit akibat infeksi COVID-19.
Pemeriksaan CT dada adalan alat pencitraan rutin untuk mendiagnosis pneumonia (radang paru). Pemeriksaannya mudah, alatnya lebih banyak tersedia, dan hasilnya cepat. Dalam penelitian, ternyata CT scan rongga dada memiliki sensitivitas 98% untuk mendiagnosis infeksi COVID-19, dibandingkan sensitivitas RT-PCR yang hanya 71%.
Dalam penelitian, 1.014 pasien menjalani pemeriksaan RT-PCR dan CT dada, sepanjang 6 Januari hingga 6 Februari 2020. Pemeriksaan RT-PCR digunakan sebagai referensi standar, kemudian dinilai sensitivitas dari pemeriksaan CT dada untuk mendiagnosis COVID-19. Pada pasien dengan uji RT-PCR berulang, konversi dinamis dari hasil tes (negatif ke positif, positif ke negatif) juga dianalisis, sebagaimana dibandingkan dengan pemeriksaan CT dada berseri.
Hasilnya, 601 pasien (59%) menunjukkan hasil RT-PCR positif, dan 888 pasien (88%) memiliki hasil tes CT dada positif. Berdasarkan hasil RT-PCR positif, sensitivitas CT dada dalam menunjukkan COVID-19 mencapai 97%. Pada pasien dengan hasil RT-PCR negatif, 75% di antaranya (308 dari 413 pasien) menunjukkan temuan CT dada positif. Dari temuan ini, 48% dianggap sebagai kasus kemungkinan besar (highly likely) COVID-19, dan 33% sebagai kasus mungkin (probable). Kesimpulan ini dibuat dengan mempertimbangkan hasil analisis yang komprehensif terkait gejala klinis, manifestasi CT tipikal, dan follow-up CT dinamis. Dengan analisis dari RT-PCR dan CT scan berseri, interval antara hasil negatif menjadi positif berdasarkan RT-PCR yakni 4 – 8 hari.
Pemeriksaan untuk diagnosis COVID-19 menggunakan CT dada perlu dikaji oleh para ahli di Indonesia. Bila bisa diterapkan, tentu sangat bermanfaat untuk mendeteksi penyakit ini secara dini. Terlebih, hampir semua RS besar memiliki alat CT scan. (nid)