india lakukan embargo vaksin untuk memenuhi pasokan dalam negeri

Ada Embargo, Vaksin Nusantara Bisa Menjadi Tumpuan

Program vaksinasi yang dimulai tanggal 13 Januari 2021, sepertinya akan sedikit tersendat. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan, vaksin covid-19 yang sudah dipesan pemerintah, menjadi tidak pasti kapan jadwal pengirimannya ke Indonesia. “Negara produsen vaksin menerapkan kebijakan embargo. Akibatnya, "Ada 100 juta dosis vaksin yang sampai sekarang menjadi tidak pasti jadwal pengirimannya," ujar Menkes Budi, dalam rapat kerja dengan DPR, 8 April 2021.

Sebanyak 100 juta dosis vaksin yang terganggu pengirimannya, didatangkan melalui dua mekanisme. Yang pertama melalui multilateral dengan GAVI (Global Aliansi untuk Vaksin dan Imunisasi) sebanyak 54 juta vaksin. Yang kedua, melalui bilateral Bio Farma dan AstraZeneca sebanyak 50 juta. Sebagai anggota GAVI, Indonesia sudah mendapat komitmen kiriman 125 juta dosis vaksin Sinovac, dan 50 juta dosis vaksin Novavax.

Kata Menkes Budi, pengadaan Covax GAVI tersendat karena ada embargo dari pemerintah India. Karena suplai vaksin dari India terhambat, GAVI melakukan realokasi. Indonesia yang seharusnya menerima 11 juta vaksin pada Maret-April 2021 ini, hanya bisa mendapat 1 juta dosis. Sisanya, diundur sampai sekitar Mei 2021. Itu pun belum pasti. Mengenai 50 juta vaksin yang melalui mekanisme bilateral, menurut Menkes, pihak AstraZeneca Indonesia tahun ini hanya bisa mengirim 20 juta dosis; 30 juta dosis lagi baru akan dikirim tahun depan (2022).

Embargo dilakukan, karena sejumlah Negara di Eropa dan beberapa negara di Asia (India, Filipina, Papua Nugini), serta beberapa negara di Amerika Selatan seperti Brasil, mengalami lonjakan ketiga kasus aktif Covid-19. Akibatnya, produsen vaksin Covid-19 di Negara-negara tersebut, memutuskan vaksin tidak boleh diekspor (embargo). Vaksin yang diproduksi, hanya boleh digunakan di negara masing-masing. Dampak embargo dirasakan oleh ratusan negara di dunia, termasuk Indonesia.

India mengembargo 10 juta dosis vaksin AstraZeneca yang sedianya dikirim ke  Indonesia. Sebelum ini, embargo vaksin dilakukan Uni Eropa (UE) terhadap Australia, dengan alasan yang sama: vaksin lebih diutamakan untuk memenuhi kebutuhan domestik. Pengadaan 10 juta dosis vaksin dari India, sebenarnya, merupakan bagian dari komitmen pengiriman 11,7 juta dosis vaksin Covid-19 untuk Indonesia, lewat kerja sama multilateral di bawah GAVI.

Sikap negara yang mengamankan stok vaksin untuk negaranya sendiri, dan tidak membagikannya ke negara lain yang membutuhkan, merupakan kebijakan nasionalisme vaksin.  Presiden Jokowi menyatakan menolak kebijakan nasionalisme vaksin ini. Tidak salah , memprioritaskan suplai vaksin untuk kebutuhan dalam negeri. Tetapi tidak bijak, ketika jumlah vaksin yang disimpan melebihi batas.

Vaksin Nusantara sudah disuntikkan di RSPAD Gatot Subroto

Kita, sebenarnya, sudah memiliki vaksin sendiri: vaksin Nusantara. Vaksin ini sudah diberikan kepada ratusan orang di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) Gatot Subroto, Jakarta. Minggu ini setiap hari rata-rata 40 orang yang memanfaatkan vaksin mandiri ini. “Minggu depan, satu hari sudah bisa melayani 80 orang,” ujar inisiator vaksin Nusantara dan  mantan Menteri Kesehatan Letnan Jendral TNI AD Dr. dr. Terawan Putranto, seperti ditulis DI’s Way, 13 April 2021.

Purnawirawan perwira tinggi TNI dan mantan Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi dan istri, termasuk yang tidak ragu-ragu disuntik vaksin Nusantara. “Kami diberi tahu untuk datang lagi tanggal 28 April 2021,” ujar Sudi seperti ditulis DI’s Way.  Vaksin Nusantara berbeda jauh dengan vaksin Vovid-19 yang kita kenal. Pertama kali datang, yang bersangkutan diambil darahnya sekitar 20 cc. Darah tersebut lalu diberi antigen, dan disimpan di laboratorium selama sekitar 2 minggu. Setelah muncul antibodi covid-19 melalui sistem sel dendritik, 2 minggu kemudian darah itu disuntikkan lagi ke tubuh yang bersangkutan.

Vaksin Nusantara masih digunakan terbatas, di lingkungan RSPAD Gatot Subroto. Sejumlah ahli dan BPOM menilai,vaksin Nusantara tidak sesuai kaidah medis.  “Proses pengembangannya memiliki sejumlah masalah. Misal, penelitian vaksin ini di RS Dr. Kariadi Semarang, tapi komite etiknya dari RSPAD Gatot Subroto Jakarta. Tim peneliti mengabaikan uji praklinik, dan langsung uji klinis,” ujar  Kepala BPOM Penny Lukito.

Berbekal keyakinan, ilmu serta pendampingan sejumlah pakar dari Amerika Serikat, Dr. Terawan terus melangkah. Sama seperti ketika dokter satu ini memperkenalkan pengobatan DSA atau “cuci otak”, yang juga ditentang. Dengan metode DSA, setidaknya 40.000 pasien bisa diselamatkan. (sur)