Diet Keto, Antara Pro dan Kontra | OTC Digest

Diet Keto, Antara Pro dan Kontra

Diet ketogenik atau sering disingkat diet keto adalah sebuah metode diet yang sedang naik daun. Dipercaya dapat menurunkan berat badan secara drastis. Sebenarnya baik atau tidak metode diet ini?

Bisa dibilang diet keto adalah metode diet yang keluar dari pakem, jika banyak cara diet lainnya menghindari lemak, tidak pada diet keto. Ia justru mengharuskan orang yang menerapkan diet keto menyantap makanan tinggi lemak dan menghindari karbohidrat.

Beberapa selebritas internasional dikabarkan melakukan diet ini, sebut saja Megan Fox, Mick Jagger, Alyssa Milano dan model internasional Adriana Lima.

Diet ini sejatinya diciptakan pada tahun 1920, dirancang untuk membuat tubuh berada dalam keadaan ketosis. Saat tubuh tidak cukup mendapatkan energi dari karbohidrat, ia akan memecah asam lemak dan trigliserida untuk membentuk keton sebagai sumber energi. Proses ini disebut ketogenesis.

Menu makan harian mengandalkan makanan tinggi lemak padat atau cair, protein berlemak, serta meminimalkan konsumsi karbohidrat, termasuk dari tepung, bahkan berapa jenis buah yang tinggi kalori. Lemak menempati porsi 80%, 15% protein dan 5% karbohidrat.

Sumber lemak misalnya didapatkan dari alpukat, santan, dan minyak-minyak seperti olive oil, minyak sayur, dan canola. Telur, krim, lemak dan kulit hewani, jeroan atau jantung hewan termasuk di dalamnya.

Diet ini tidak terlalu memikirkan jam makan karena tubuh membutuhkan waktu lebih lama untuk mencerna lemak; sehingga rasa lapar juga lebih lama datangnya. Selama tubuh berada di dalam status ketosis, tubuh akan menjadi lebih aktif dan nafsu makan lebih terkendali.

Metode diet ini tergolong ekstrim yang tidak bisa terus-menerus dilakukan. Di kalangan medis, penerapan diet keto pun menimbulkan kontroversi, antara pro dan kontra.

 “Sebenarnya diet ini tidak untuk orang normal. Pada pasien epilepsi atau yang sering mengalami kejang barulah disarankan melakukan diet keto,” papar Dr. dr. Fiastuti Witjaksono, Ms, MSc, SpGK(K).

Pada mereka dengan epilepsi atau yang memiliki kecenderungan mengalami kejang, kelebihan karbohidrat dapat memicu diproduksinya sinyal-sinyal kejang. Sehingga solusinya, sumber energi disuplai dari asupan lemak.

“Jika dilakukan secara sembarangan apalagi dalam waktu lama menyebabkan kurang serat, menimbulkan konstipasi (sembelit) dan gula darah naik,” tegas dr. Fiastuti. “Bahkan pada pasien epilepsi pun diet keto tidak dilakukan terus-menerus, jika kejangnya membaik, diet keto dihentikan. Kembali ke pola makan normal.”

Selain itu, meski diet ini rendah karbohidrat, tidak disarankan dilakukan oleh penderita diabetes. Pasalnya rendahnya asupan karbohidrat/gula dapat memicu kondisi hipoglikemik atau gula darah rendah yang sifatnya tiba-tiba dan bisa mengakibatkan koma dan kematian. (jie)