Cukup Tidur Tapi Masih Ngantuk, Awas Hipersomnia | OTC Digest

Cukup Tidur Tapi Masih Ngantuk, Awas Hipersomnia

Mengantuk adalah tanda kurang tidur. Tapi bagaimana jika Anda merasa sudah cukup tidur tapi masih juga mengantuk? Ini bisa jadi tanda gangguan tidur yang disebut hipersomnia atau Excessive Daytime Sleepiness (EDS).

Normalnya manusia menghabiskan 1/3-1/4 waktunya untuk tidur, kurang atau lebih dari itu bisa memicu masalah, seperti penurunan produktivitas. Menurut dr. Andreas Prasadja, RPSGT (Registered Polysomnographic Technologist) dari Sleep Disorder Clinic RS Mitra Kemayoran, hipersomnia bukan tidur berlebih, melainkan kantuk berlebih setelah tidur cukup.

Tubuh terasa tidak bugar saat bangung tidur, sehingga memberi efek domino seperti cepat mengantuk, sulit konsentrasi dan menurunnya daya ingat. ”Ia merupakan gejala dari penyakit lain yang menyebabkan kualitas tidur buruk. Seperti  periodic limb movement disorder (sindrom tungkai gelisah) atau sleep apnea (ngorok),” jelasnya.

Sindrom tungkai gelisah menyebabkan tungkai bergerak tanpa sadar bahkan ketika tidur. Sementara ngorok menunjukkan ada sumbatan di saluran napas atas saat saat tidur. “Ketika kaki bergerak atau ngorok, otak menjadi sadar tapi tidak sampai terbangun, sehingga memutus ritme tidur. Jadi otomatis kualitas tidurnya buruk, sehingga bangunpun masih dalam kondisi ngantuk, tidak segar,” katanya.

Hipersomnia dikategorikan sebagai gejala narkolepsi, atau “serangan tidur” yang hebat. Laporan dari Dauvilliers dan Mignot, secara terpisah menyebutkan angka kejadian  0,013% - 0,067% di Inggris, Perancis, Hong Kong dan Amerika.

Penderita narkolepsi merasa sangat mengantuk, hingga mudah tertidur sepanjang hari. Mereka juga mengalami katapleksi, yaitu lumpuh tiba-tiba seolah pingsan yang dipicu emosi kuat (biasanya emosi gembira).

Faktor psikologis pun turut berperan menyebabkan seseorang terserang hipersomnia, seperti ketika terkena stres berat, depresi atau mood swing saat menstruasi.

Ternyata gangguan tidur berdampak luas, banyak penelitian menyebutkan meningkatkan risiko hipertensi, stroke dan serangan jantung. “Di Inggris sudah ada peraturannya kalau mengalami gangguan tidur, tidak boleh mengemudi, SIM-nya ditahan sementara. Karena mengantuk membuat reflek lambat, sudah tahu ada orang mau nyebrang tapi telat ngerem,” tutur dr. Andreas.

Bagaimana terapinya? Pertama-tama dilakukan diagnosa penyebab gangguan tidur dengan polysomnography (PSG). Setelah diketahui penyebabnya, misalnya sindrom tungkai bergerak akan diberi obat saraf untuk meredakan pergerakan tungkai. Sementara jika karena sleep apnea bisa hanya dengan tidur miring.

Ia menegaskan hipersomnia tidak boleh diremehkan. “Jangan sembarangan minta obat tidur. Ungkapkan apakah tidurnya ngorok atau gampang ngantuk,” katanya. Jangan sampai gara-gara tertidur saat rapat Anda “disemprot” atasan, atau bahkan mendapat SP. (jie)