Munculnya sejumlah varian baru virus corona membuat kita was-was. Ini masuk akal karena vaksin COVID-19 yang ada saat ini dikembangkan berdasarkan varian awal. Beberapa negara bahkan mempertimbangkan untuk mengombinasi vaksin COVID-19 berbeda merek untuk meningkatkan kadar antibodi pelindung.
Mengombinasi vaksin COVID-19 dengan berbeda merek ini dikenal sebagai vaksin heterolog atau heterologous prime-boost vaccination. Robert H Shaw, dari Oxford Vaccine Group, University of Oxford, Inggris, mengatakan bila saat ini muncul minat yang signifikan untuk mengombinasi vaksin COVID-19 untuk mengurangi dampak dan kekurangan pasokan vaksin yang bisa memperlambat kecepatan program vaksinasi.
“Selain itu, sehubungan dengan perubahan rekomendasi mengenai penggunaan vaksin COVID-19 ChAdOx1 nCoV-19 (ChAd) (vaksin AstraZeneca), beberapa negara mulai menyarankan agar seseorang yang sebelumnya menerima vaksin ini sekarang sebaiknya mendapatkan vaksin alternatif sebagai dosis kedua, paling umum memakai vaksin mRNA seperti vaksin Pfizer,” tulisnya di jurnal The Lancet.
Mengombinasikan vaksin COVID-19 yang sudah diteliti adalah dengan memberikan vaksin A sebagai dosis pertama dan vaksin B di dosis kedua. Sementara yang belum diteliti/dilakukan adalah mencampur 2 jenis vaksin dalam satu kemasan, atau menyuntik 2 jenis vaksin berbarengan.
Penelitian di Oxford, dalam studi Com-Cov, membuktikan kombinasi vaksin AstraZeneca (AZ) untuk dosis pertama dan Pfizer di dosis kedua terbukti memberi perlindungan maksimal.
Dalam studi pendahuluan ini, "Hasil menunjukkan kombinasi antara vaksin AstraZeneca dan Pfizer yang diberikan empat minggu setelah dosis pertama berhasil meningkatkan kekebalan tubuh," ujar peneliti utama, Profesor Matthew Snape, dikutip Pharmaceutical Technology.
Percobaan terbaru yang dilakukan di Korea Selatan menunjukkan bahwa vaksinasi kombinasi, dengan AZ sebagai dosis pertama dan Pfizer untuk dosis kedua, menginduksi tingkat antibodi penetral enam kali lebih tinggi daripada yang terlihat setelah dua dosis suntikan AstraZeneca.
Sejauh ini kombinasi vaksin yang sudah diteliti adalah antara vaksin Pfizer & Moderna, AstraZeneca & Pfizer, AstraZeneca & Moderna, Sinovac & Sinopharm, Sinovac & Pfizer, Sinovac & Moderna, Sinovac/Sinopharm & AstraZeneca.
Mengombinasi vaksin berbeda merek ini, selain memberikan efek perlindungan yang lebih kuat terhadap virus corona, juga memberikan opsi lain untuk individu yang takut akan efek samping dari vaksin dosis pertamanya.
Juga bisa menjadi solusi keterbatasan ketersediaan vaksin (satu merek tertentu) di banyak negara dan akan mempercepat program vaksinasi.
Kenapa belum dilakukan di Indonesia?
Praktik mengombinasi vaksin COVID-19 ini walau punya potensi manfaat yang lebih baik, namun belum dilakukan secara luas. Ada beberapa alasan, yakni:
- Jumlah sampel yang sedikit dan belum mencakup semua usia sehingga belum dapat menggambarkan apa yang terjadi pada populasi masyarakat umum.
- Pengamatan respons tubuh dan lamanya respons tersebut bertahan masih perlu dilakukan.
- Profil keamanan, terutama efek samping dari masing-masing kombinasi juga membutuhkan studi lebih lanjut.
- Jarak pemberian antara dosis pertama dan kedua masih diteliti.
Kombinasi vaksin COVID-19 yang berbeda ini juga belum dilakukan di Indonesia. Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito menyebutkan mengombinasi vaksin yang berbeda pada satu orang harus dilakukan berdasarkan studi lanjutan.
"Khusus praktik mixing vaksin di Indonesia sejauh ini Kemenkes hanya menetapkan peruntukannya untuk booster dosis ketiga bagi tenaga kesehatan," beber Prof Wiku Adisasmito dalam konferensi pers virtual, Kamis (26/8/2021).
WHO hingga saat ini - dalam pernyataan resminya - tidak merekomendasikan individu melakukan mix and match (kombinasi) vaksin COVID-19. Keputusan itu harus ditentukan oleh badan pelayanan kesehatan masyarakat berdasarkan data ilmiah.
Data mengenai kombinasi vaksin COVID-19 yang berbeda masih ditinjau. Imunogenitas dan tingkat keamanan vaksin tersebut masih perlu dievaluasi. (jie)