Kekerasan terhadap perempuan, praktik sunat perempuan, hingga femisida (pembunuhan perempuan akibat kebencian berbasis gender) masih menghantui perempuan Indonesia. “Secara nasional, per 2024 kami data ada 46,3 persen perempuan usia 15-49 tahun yang pernah mengalami praktik sunat perempuan,” ungkap Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kemenkes, dr. Maria Endang Sumiwi, MPH. Cukup mencengangkan, praktik ini justru lebih banyak terjadi di perkotaan (48%) dibandingkan di pedesaan (43,8%).
Kekerasan terhadap perempuan dan anak juga terus meningkat setiap tahun. “Bahkan anak perempuan tinggi mengalami kekerasan," ujar dr. Maria, dalam Konferensi Nasional Perempuan 2025 bertajuk Perempuan Sehat dan Berdaya, Menuju Kesetaraan Global yang diselenggarakan oleh Farid Nila Moeloek (FNM) Society bersama United Nations Population Fund (UNFPA) dan didukung oleh Takeda di Jakarta, Selasa (11/3/2025).
Hal senada diungkapkan oleh Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Veronica Tan menyoroti kasus kekerasan yang menimpa perempuan dan anak di Indonesia. "Seluruh kasus yang berkaitan dengan perempuan dan anak merupakan kondisi darurat yang harus segera ditangani," tegasnya.
Di satu sisi, Indonesia telah berhasil meningkatkan Indeks Pembangunan Gender (Gender Development Index/GDI) dari 91,63 pada 2022 menjadi 91,85 pada 2023, dalam upaya menciptakan lingkungan dan akses layanan yang baik bagi perempuan. Indeks Pemberdayaan Gender juga meningkat dari 76,59 menjadi 76,90. Namun di sisi lain, masih banyak kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan Indonesia.
Pencapaian nasional di atas memang masih di bawah standar global. GDI Indonesia secara global berada di angka 0,94 dari skala 0 sampai 1, dan pencapaian Women’s Empowerment Index (WEI) di angka 0,568. Ini menunjukkan bahwa ketimpangan gender masih menjadi tantangan besar, terutama di sektor kesehatan meskipun berbagai kemajuan telah dicapai.
Veronica berharap, kemitraan yang terjalin antara FNM Society, UNFPA dan Takeda dalam Konferensi Nasional Perempuan 2025 bisa menjadi langkah nyata yang membantu perempuan Indonesia menghadapi berbagai tantangan. “Termasuk mendapatkan akses yang setara terhadap pendidikan, layanan kesehatan, pekerjaan yang layak dan perlindungan dari kekerasan,” imbuhnya.
Tak Hanya Sunat Perempuan, tapi juga Masalah Kesehatan secara Umum
Secara umum, perempuan Indonesia juga rentan terhadap beragam masalah kesehatan. Mulai dari malnutrisi, masalah kesehatan reproduksi, gangguan mental, hingga infeksi menular seksual (PMS).
Data Kemenkes menyebut, 31,8% perempuan usia subur (15 – 49 tahun) mengalami kekurangan energi kronis (KEK), dan sebanyak 17,3% anemia. Kedua masalah ini bisa menimbulkan dampak yang sangat besar bila dialami oleh perempuan usia subur. ”Sangat berbahaya, karena jika mereka hamil ini akan berdampak buruk bagi dirinya dan juga janin yang dikandungnya," tandas dr. Maria.
Perempuan yang hamil dengan kondisi KEK dan anemia berisiko mengalami berbagai masalah serius selama kehamilan dan saat melahirkan. Sebagaimana kita ketahui, anemia merupakan salah satu penyebab utama kematian ibu saat melahirkan di Indonesia, karena Hb yang rendah menempatkan ibu dalam risiko perdarahan saat persalinan.
Deteksi dini penting untuk mencegah kematian perempuan akibat berbagai kondisi/penyakit, termasuk KEK dan anemia di usia subur. Program Cek Kesehatan Gratis dari pemerintah yang sudah mulai dijalankan, bisa menjadi salah satu solusi. Program ini adalah hadiah ulang tahun dari pemerintah untuk seluruh rakyat Indonesia. “Semua orang mendapat jatah cek kesehatan gratis setiap tahun satu kali. Bisa mendaftar dan mlakukan pemeriksaan kapan saja, tidak harus menunggu waktu ulang tahun,” jelas dr. Maria.
Ia melanjutkan, dengan memberikan akses yang lebih mudah ke layanan kesehatan, “Kemenkes berharap dapat mempercepat pencapaian kesetaraan gender."
Kolaborasi Lintas Sektor
Konferensi Nasional Perempuan 2025 untuk memperingati Hari Perempuan Internasional 2025, merupakan sebuah wujud nyata upaya kolektif dan kolaborasi lintas sektor yang melibatkan pemerintah, sektor swasta, organisasi masyarakat sipil, LSM dan akademisi bagi peningkatan kesetaraan gender di Indonesia.
Sejalan dengan tema Hari Perempuan Internasional 2025 "For ALL women and girls: Rights. Equality. Empowerment", FNM mendorong aksi nyata untuk membuka akses dan peluang yang setara, serta mewujudkan masa depan yang lebih inklusif bagi semua orang tanpa terkecuali – khususnya perempuan.
Hampir 50% dari 280 juta jiwa penduduk Indonesia adalah perempuan. “Jumlah ini mencerminkan potensi luar biasa, tetapi juga menunjukkan bahwa kesenjangan gender yang masih ada perlu segera diatasi. Tantangan ini tidak hanya terletak pada skala yang besar, tetapi juga pada bagaimana memastikan setiap perempuan, di mana pun mereka berada, memiliki akses yang sama terhadap kesempatan, kesehatan, dan perlindungan,” ujar Prof. Dr. dr. Nila Moeloek, Sp.M(K), Ketua FNM Society.
Ia melanjutkan, pemberdayaan perempuan bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau organisasi tertentu. “Ini adalah tugas kita bersama. Dan yang terpenting, perubahan selalu dimulai dari diri sendiri. Saat kita bergerak, kita membawa perubahan bagi lingkungan kita, komunitas kita, dan pada akhirnya, bagi bangsa ini,” tandas Prof. Nila.
Hal ini diamini oleh Hassan Mohtashami, UNFPA Indonesia Representative. Menurutnya, Hari Perempuan Internasional menjadi momen untuk meneguhkan kembali komitmen terhadap kesetaraan gender. “Kesetaraan gender terkait erat dengan kesehatan seksual dan reproduksi dan hak-hak reproduksi: kesehatan, kesejahteraan dan otonomi perempuan bergantung pada layanan kesehatan seksual dan reproduksi,” paparnya.
Semakin sejahtera perempuan dan anak perempuan, semakin sejahtera pula keluarga, komunitas, dan dunia. Meskipun telah terjadi banyak kemajuan, tantangan masih ada. “Ketimpangan gender, akses layanan kesehatan yang terbatas, serta kekerasan terhadap perempuan masih menjadi penghalang bagi banyak perempuan untuk mencapai potensi penuh mereka,” tegas Hassan. Melalui inisiatif seperti Women at the Center Project yang juga dikenal sebagai Perempuan Indonesia Hidup Tanpa Kekerasan (PIHAK), UNFPA terus bekerja untuk memastikan setiap perempuan mendapatkan akses layanan kesehatan reproduksi yang aman dan berkualitas serta bisa menentukan masa depannya sendiri.
Sebagai salah satu mitra penyelenggaraan acara Konferensi Nasional Perempuan ini, Takeda menyampaikan komitmennya secara global untuk kemajuan dan pemberdayaan perempuan. “Di Takeda, keberagaman, kesetaraan, dan inklusi bukan sekadar inisiatif, tetapi telah menjadi bagian dari DNA kami selama lebih dari 240 tahun, termasuk lebih dari 50 tahun di Indonesia,” ujar Akiko Amakawa, Corporate Strategy Officer & CEO Chief of Staff, Takeda Pharmaceuticals.
Komitmen Takeda tidak berhenti di internal perusahaan, tapi juga di luar portofolio bisnis yang sejalan dengan nilai-nilai perusahaan. Salah satunya melalui dukungan kami terhadap Women at the Centre: Rising Up Against the Pandemic of Violence Against Women, yang dibentuk pada 2023 dan akan berlangsung hingga 2026 serta dijalankan di 5 negara (Azerbaijan, El Salvador, Madagaskar, Zimbabwe, dan Indonesia). Di Indonesia, program ini dijalankan melalui kemitraan dengan UNFPA. “Kami yakin bahwa kesetaraan dan pemberdayaan bukan hanya tentang kebijakan, tetapi juga tentang aksi nyata. Dengan terus berkolaborasi lintas sektor, kita dapat menciptakan perubahan berkelanjutan yang berdampak bagi perempuan, masyarakat, dan generasi mendatang,” pungkas Akiko. (nid)