Kita masih kerap salah kaprah, mengganggap batuk sebagai penyakit. Padahal batuk adalah reaksi atau gejala dari kondisi tertentu. Batuk bisa dipicu oleh banyak hal, mulai dari debu, reaksi alergi hingga infeksi virus.
Batuk sejatinya adalah mekanisme alami tubuh untuk membersihkan saluran napas dari benda asing. Ini merupakan mekanisme pertahanan saluran napas yang penting.
“Walaupun batuk adalah mekanisme pertahanan alami, tetapi jika semakin parah bisa mengganggu,” ucap Dr. apt. Lusy Noviani, MM, Kepala Program Studi Profesi Apoteker, Universitas Atma Jaya, Jakarta.
Secara klinis, batuk terbagi menjadi batuk produktif (berdahak) dan batuk kering (tidak berdahak). Dari sisi waktu, ada yang disebut batuk akut (< 3 minggu), subakut (3-8 minggu) dan batuk kronik (>8 minggu).
Batuk kering bisa berubah menjadi batuk berdahak. Dan, batuk berdahak jika tidak diatasi bisa menimbulkan komplikasi seperti gangguan bernapas, demam, dll.
“Pada mereka dengan batuk berdahak perlu dipertimbangkan ada tidaknya alergi, misalnya muncul hanya di pagi hari, atau di lingkungan berdebu,” terang apt. Lusy. “Namun jika tidak muncul di waktu tertentu (sepanjang waktu), dahak yang kental, apalagi disertai demam, kemungkinan karena infeksi.”
Ada beberapa hal yang bisa memicu batuk, seperti paparan benda asing (gas, debu, zat kimia, dll), infeksi virus, asma dan beberapa penyakit paru, alergi, hingga refluks asam lambung (GERD).
Batuk alergi pada dasarnya merupakan dampak (gejala) dari penyakit alergi yang mendasari, misalnya rhinitis alergi. Beberapa gejala yang menyertai rhinitis alergi antara lain mata merah/terasa gatal, bersin, hidung tersumbat dan batuk.
Batuk alergi terjadi akibat pembengkakan atau iritasi saluran napas, sebagai respon tubuh terhadap alergen. Biasanya muncul batuk kering kronik, tapi bisa pula timbul batuk berdahak yang sulit dikeluarkan.
Sering pula disertai dengan gejala lain seperti hidung meler/tersumbat, mata gatal, bersin atau ruam kulit. Batuk alergi dipicu oleh paparan dengan alergen, yang berbeda pada tiap orang. Misalnya debu, tungau, bulu hewan peliharaan atau makanan tertentu.
Memilih obat batuk yang tepat
Ada beberapa jenis obat batuk yang beredar di apotek, seperti antitusif, ekspektoran, mukolitik, antihistamin dan bronchodilator.
Obat batuk ekspektoran termasuk yang disarankan untuk mengatasi batuk alergi. Ia bekerja meningkatkan produksi dahak sehingga mudah dikeluarkan melalui batuk. Salah satu jenis ekspektoran adalah ammonium chloride.
“Jika produksi musin (dahak) tidak cukup terus dipaksa dikeluarkan (lewat batuk) justru bisa mengiritasi, menimbulkan inflamasi. Ekspektoran salah satu kerjanya adalah meningkatkan produksi musin sehingga bisa dengan mudah dikeluarkan,” terang apt. Lusy. “Karena batuk alergi ada dahaknya, tentu membutuhkan ekspektoran.”
Mekanisme kerja lainnya adalah dengan menurunkan kekentalan dahak di tenggorokan dan bronkus (saluran menuju paru-paru). Juga dengan meningkatkan refleks untuk memudahkan pengeluaran dahak.
Ekspektoran juga bisa dikombinasikan dengan antihistamin. Perlu diketahui, reaksi alergi memicu pelepasan histamin (senyawa kimia yang diproduksi sebagai respon terhadap alergen). Ini yang memicu munculnya gejala alergi, termasuk batuk.
“Antihistamin (misalnya diphenhydramine HCL [antihistamin generasi 1]) ditambahkan dalam formula ekspektoran untuk mengatasi batuk alergi. Tujuannya untuk mengobati reaksi alergi seperti hidung tersumbat dan gatal tenggorokan. Sekaligus mengeluarkan dahak dengan mudah,” apt. Lusy menjelaskan.
Kombinasi ini bermaksud agar pasien mudah menggunakan, tidak harus minum dua atau tiga obat sekaligus.
Kapan harus diminum?
Obat batuk alergi sebaiknya diminum sejak gejala (batuk) muncul. “Antihistamin bisa dikonsumsi sepanjang alergi, baik itu pada alergi ringan, sedang hingga berat,” imbuh apt. Lusy.
Obat batuk kombinasi ini bekerja dengan cepat, terutama untuk mengatasi gejala alergi. “Penyerapan antihistamin (diphenhydramine HCL) maksimum terjadi dalam 1 jam. Sementara ammonium chloride dalam waktu 3-6 jam,” terang Sonya Agustine, SKM, Marketing Operations Manager PT Harsen Laboratories, kepada OTC Digest.
Dosis pemakaian untuk dewasa adalah 1 atau dua sendok tiap 2-3 jam (tidak boleh lebih dari 14 sendok dalam sehari). Pada anak-anak usia 6 tahun ke atas adalah ½ sampai 1 sendok tiap 3 jam (tidak boleh lebih dari 6 sendok per hari).
Efek samping yang mungkin muncul, antara lain mengantuk, mulut kering dan pusing / tidak stabil berjalan. “Sehingga disarankan jangan mengemudi, lebih banyak minum air putih atau kunyah permen karet bebas gula. Dan, duduk/berbaring hingga merasa lebih baik,” tutup Sonya. (jie)