Program kemitraan antara Kementrian Kesehatan RI dan PT AstraZeneca telah dimulai sejak 2017 silam. Program kemitraan tersebut kini diperpanjang dan diperluas, dengan ditandatanginya Nota Kesepahaman (MoU) di Jakarta, Senin (20/2/2023). Melalui kemitraan yang merupakan bagian dari program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), PT AstraZeneca mendukung penuh transformasi sistem kesehatan, melalui edukasi dan tindakan preventif.
MoU ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan RI Kunta Wibawa Dasa Nugraha, dan Presiden Direktur PT. AstraZeneca Indonesia Sewhan Chon, disaksikan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin. Dalam pidatonya, Menteri Kesehatan menyambut baik program CSR tersebut. “Saya juga minta ke AstraZeneca kalau bisa, semua vaksin dikembangkan di Indonesia. AstraZeneca adalah salah satu perusahaan vaksin besar, yang kita minta teknologinya dibawa ke sini,” ujarnya.
Transformasi Sistem Kesehatan
Program edukasi menjadi salah satu cara yang dilakukan oleh AstraZeneca sebagai upaya preventif, untuk melakukan transformasi kesehatan. Menurut Budi Gunadi, hal ini sejalan dengan program pemerintah, yang sejak awal ingin agar dana bantuan bisa dsalurkan ke program yang bersifat promotif preventif, sebagai edukasi pencegahan penyakit ke masyarakat.
PT AstraZeneca memiliki program edukasi Young Health Programme di Indonesia, yang memberdayakan generasi muda untuk menjaga kesehatan dan mencegah penyakit tidak menular (PTM). “Bagaimana cara menjalani hidup sehat, apa saja penyakit tidak menular, dan bagaimana pencegahannya. Jadi kami menciptakan ekosistem agar generasi muda bisa hidup lebih sehat,” tutur Sewhan Chon.
Dengan mengedukasi generasi muda, diharapkan mereka juga bisa mengedukasi orang lain sehingga edukasi soal kesehatan bisa menyebar makin luas lagi. Saat ini, Young Health Programme tengah berjalan di 40 sekolah.
Skrining Kanker
Upaya preventif berupa skrining kanker juga menjadi fokus lain dalam kemitraan antara Kemenkes dan AstraZeneca. Sewhan menyayangkan, masih banyak pasien kanker yang datang ke dokter dalam stadium lanjut. Padahal bila bisa dideteksi pada stadium dini, angka survival akan sangat meningkat.
Bekerjasama dengan para ahli, AstraZeneca mengembangkan kuesioner spesifik, dan memanfaatkan teknologi berupa serta kecerdasan buatan dan digitalisasi untuk skrining dan deteksi dini kanker. “Kami juga menggencarkan kampanye 10 jari untuk mengedukasi masyarakat mengenai kanker ovarium,” ujar Sewhan.
Kasus kanker ovarium sebenarnya cukup tinggi di Indonesia, dan angka kematiannya sangat tinggi. Kanker ini menempati urutan 5 kanker terbanyak pada permepuan di Indonesia. Menurut data Globocan 2020, tercatat 14.896 kasus baru kanker ovarium per tahun di Indonesia, dengan angka kematian mencapai 9.851. Namun demikian, kesadaran dan pemahaman mengenai kanker ovarium masih minim.
Kampanye 10 jari meliputi 6 faktor risiko dan 4 tanda kanker ovarium. Enam faktor risiko meliputi: riwayat kista endometrium, riwayat keluarga dengan kanker ovarium dan/atau kanker payudara, mutase genetic seperti BRCA, paritas rendah, gaya hidup tidak sehat, dan usia yang lebih tua. Adapun 4 gejala meliputi: kembung, nafsu makan berkurang, sering buang air kecil, dan nyeri panggul/perut. (nid)