Menerapkan protokol kesehatan, vaksinasi dan menjaga imunitas adalah tiga hal yang saling terkait untuk mencegah infeksi COVID-19. Kita sangat familiar dengan vitamin C sebagai penjaga imunitas tubuh. Tetapi sebenarnya masih ada satu vitamin lain yang tidak kalah penting, yakni vitamin D.
Vitamin D termasuk golongan vitamin yang memiliki reseptor hampir di seluruh bagian tubuh. Bermanfaat bukan hanya untuk tulang, tetapi juga imunitas dan kesehatan sel menyeluruh.
Sayangnya, menurut Dr. dr. Indra Wijaya, M.Kes, SpPD-KEMD, FINASIM, rata-rata orang Indonesia memiliki kadar vitamin D <20 ng/ml yang berarti defisiensi vitamin D.
American Association of Clinical Endocrinologist menyatakan kadar vitamin D dalam darah 20 – 30 ng/mL digolongkan insufisiensi (tidak cukup), dan dibawah 20 ng/ml digolongkan sebagai defisiensi (kekurangan). Dianggap cukup apabila kadarnya antara 30-100 ng/mL (dengan nilai optimal >50 ng/mL).
“38,7% anak usia 2-12 tahun, 63% wanita usia subur (18-40 tahun) dan 78,2% lansia kekurangan vitamin D,” ujar dr. Indra dalam webinar Manfaat Vitamin D dan Glutathione untuk Kesehatan, Jumat (23/4/2021).
Menurutnya pada banyak kasus di Indonesia, kadar vitamin D dalam darah tetap rendah walau kerap berjemur sinar matahari.
“Muka sampai hitam tapi vitamin D-nya malah turun. Metabolisme tiap orang berbeda-beda, ini yang mempengaruhi penyerapan vitamin D, apalagi bila ada gangguan ginjal dan obesitas vitamin D-nya jelek,” imbuhnya. “Selama pandemi tetap disarankan berjemur, tetapi juga ditambah suplementasi.”
Studi menyatakan kadar vitamin D dalam darah <30 ng/mL meningkatkan risiko dan keparahan infeksi saluran napas. Jurnal PLoS ONE mencatat dari 191.779 orang Amerika, mereka dengan defisiensi vitamin D berisiko 54% lebih tinggi terkena COVID-19, dibandingkan orang dengan kadar vitamin D cukup.
Peneliti juga mencatat pasien COVID-19 dengan kadar vitamin D >30 ng/mL memiliki tingkat keparahan dan kematian yang lebih kecil, dibanding pasien dengan vitamin D <30 ng/mL. Bahkan hampir tidak ada kematian pada pasien dengan kadar vitamin D >40 ng/mL.
“Pemberian suplementasi vitamin D3 dosis tinggi (80.000 IU) sesaat sebelum dan saat terkena COVID-19 berhubungan kuat dengan berkurangnya keparahan COVID-19 dan peningkatan survival rate,” imbuh dokter yang praktik di RS Premier Bintaro ini.
Sebagai informasi ada dua jenis utama vitamin D : vitamin D2 dan D3. Vitamin D3 adalah yang paling aman, stabil dan luas digunakan sebagai suplementasi.
Apt. Audrey Clarissa, President of Asian Young Pharmacist Group menjelaskan, suplementasi vitamin D saat ini sudah dimasukkan ke dalam pedoman dan protokol tatalaksana COVID-19 di Indonesia, baik untuk pasien tanpa gejala sampai gejala berat/kritis.
“Vitamin D penting untuk menghadapi badai sitokin. Suplementasi vitamin D3 kalau digunakan secara rutin akan meningkatkan vitamin D dalam darah dan menjaganya tetap stabil,” kata Audrey.
Badan POM pada Agustus 2020 menyatakan meningkatnya defisiensi vitamin D menyebabkan kebutuhan suplementasi vitamin D 1000 IU (International Unit) diperlukan untuk memenuhi kebutuhan vitamin D pada kondisi tertentu, seperti pandemi COVID-19.
“Suplementasi vitamin D 1000 IU aman dikonsumsi tiap hari,” imbuh Audrey. “Vitamin ini punya rentang keamanan hingga 10.000 IU/hari, tidak menyebabkan efek samping apapun.”
Satgas BNPB bidang NaKes COVID-19 juga merekomendasikan, untuk mencegah keterpaparan dan risiko kematian NaKes, maka selain vaksinasi COVID-19, konsumsi vitamin D 5000 IU/hari baik sebelum atau sesudah tertular.
Vaksinasi akan membentuk imunitas adaptif, sementara vitamin D akan meningkatkan imunitas alamiah. “Kita tahu efektivitas vaksin hanya 60% oleh sebab itu harus didukung oleh daya tahan tubuh yang kuat,” kata Audrey.
Hi-D (Vitamin D3 1000 dan 5000 IU) dapat digunakan untuk mencukupkan kadar Vitamin D tubuh. Dibutuhkan dosis tinggi (5000 IU) untuk cepat dan efektif mencapai minimal kecukupan kadar Vitamin D 30 ng/ml dan selanjutnya dosis rendah (1000 IU) untuk dosis pemeliharaan menjaga imunitas tubuh dan fungsi sel menyeluruh.
Glutathione mendukung vitamin D
Tidak kalah penting adalah antioksidan, khususnya glutathione yang banyak terdapat di paru-paru dan hati. Selama ini glutathione lebih dikenal sebagai pemutih kulit. “Itu sebenarnya adalah efek samping dari glutathione,” terang Audrey.
Antioksidan ini antara lain efektif menghambat replikasi virus dan aktivasi NF-kB (Nuclear factor kappa B; salah satu protein mediator inflamasi).
European Respiratory Journal menulis penurunan glutathione dalam sel menyebabkan peradangan paru-paru. Merokok, penyakit paru obstruksi kronis, HIV hingga virus corona diketahui bisa menurunkan glutathione di paru-paru.
“Studi di April 2020 menunjukkan pasien COVID-19 memiliki kadar glutathione yang rendah dan radikal bebas yang tinggi, dengan nilai yang signifikan pada kasus sedang-berat, dibandingkan kasus ringan,” terang dr. Indra.
Glutathione akan menekan kematian jaringan yang diakibatkan virus corona, mencegah terjadinya badai sitokin, mencegah kejadian gagal paru dalam kasus sedang – berat COVID-19, dan meningkatkan respons imun untuk membantu proses penyembuhan COVID-19.
Menariknya, glutathione akan saling melengkapi dengan vitamin D. Glutathione dan vitamin D bersinergi mendukung perbaikan kerusakan jaringan epithelial dan endothelial paru, menurunkan radikal bebas dan menghambat mediator inflamasi.
Audrey menambahkan, glutathione merupakan ‘ibunya’ antioksidan karena ia yang mengatur regenerasi antioksidan lain, misalnya vitamin C atau vitamin E.
“Glubio (suplemen glutathione) punya kemurnian tinggi antara 98-101% dan bebas alergi. Suplementasi Glubio selama 6 bulan terbukti ada peningkatan glutathione dalam darah hingga 31%,” imbuh Audrey.
Dosis glutathione sebagai pemeliharaan yaitu 1 x 500 mg/hari, sedangkan pada kasus dyspnea (sesak nafas) karena COVID-19 disarankan 2 x (2x500 mg). (jie)
Silahkan Unduh Sertifikat Webinar 23 April 2021 di sini
________________________________________________
Ilustrasi: Food photo created by whatwolf - www.freepik.com