Tingginya curah hujan, seperti yang sudah-sudah, kerap diikuti banjir. Apalagi, secara umum sistem drainase di Indonesia masih kurang baik. Ini diperparah dengan minimnya sarana sanitasi dan kurangnya kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungan.
Ini masalah serius. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), penyakit terkait air, sanitasi dan masalah kebersihan (hygene) menyumbang 2,8% dari total kematian di Indonesia (data tahun 2004). Salah satu penyakit akibat ketiga hal yang saling berkaitan tersebut yakni infeksi saluran cerna, khususnya diare. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 menunjukkan, diare menyumbang kematian nomor 1 pada balita di Indonesia. Diare sendiri bisa disebabkan oleh berbagai hal: infeksi oleh rotavirus, bakteri E. coli, atau merupakan gejala dari penyakit lain yang ditularkan melalui air seperti tifoid, kolera maupun disentri.
Begitu musim hujan tiba, masalah bertambah besar. Banjir akan menghanyutkan sampah dan limbah hingga ke lingkungan sekitar kita dan mencemari sumber air minum. Sampah dan limbah yang hanyut juga akan menciptakan kerumunan lalat, yang kemudian “memindah-kan” kuman dari sampah tersebut ke makanan / minuman kita.
Memperkuat usus
Mencegah dan/atau mengatasi infeksi saluran cerna, bisa dilakukan dengan memperkuat usus. Salah satu cara yang efektif yakni dengan menjaga keseimbangan bakteri di usus, dengan menjaga populasi bakteri baik/bermanfaat. Secara fisik, bakteri bermanfaat akan melapisi dinding usus membentuk barrier (lapisan penghalang), sehingga bakteri yang bersifat patogen (bisa menyebabkan sakit) tidak bisa menempel.
Bakteri bermanfaat seperti Lactobacillus dan Bifidobacterium memroduksi asam laktat. Ini akan menciptakan lingkungan yang asam di usus, sementara secara umum bakteri yang bersifat patogen/jahat tidak tahan terhadap asam. Dengan demikian, populasi bakteri patogen bisa ditekan. Selain asam laktat, bakteri bermanfaat juga memroduksi berbagai zat lain misalnya asam butirat, yang akan menutrisi sel-sel usus besar sehingga menjadikan-nya lebih sehat dan kuat.
Secara lebih spesifik, bakteri bermanfaat turut memperkuat sistem imun. Mereka akan masuk ke lapisan usus yang lebih dalam hingga ke daerah yang disebut Peyer’s patches, bagian dari sistem imun yang ada di jaringan limfoid. Di sini, bakteri baik mengaktifkan sistem imun, misalnya sel NK (natural killer), yang fungsinya antara lain menghancurkan sel tubuh yang telah terinfeksi agar mikroba penyebab infeksi tidak bisa bereplikasi.
Keseimbangan bakteri usus bisa dipelihara dengan mengonsumsi pangan yang mengandung bakteri bermanfaat, yang sering kita sebut sebagai probiotik. Efek probiotik terhadap diare telah diteliti sejak lama. Misalnya studi oleh Jacalne AV, dkk (1990), yang dipublikasi di Acta Medica Philippina. Penelitian yang dilakukan pada tikus ini menunjukkan bahwa L. casei Shirota strain sangat efektif mencegah diare akibat E. coli, V. cholera biotipe E1 dan V. cholera klasik. Setiap hari, tikus diberi 40 ml susu fermentasi dengan kandungan L. casei Shirota strain, selama 7 hari. Hal ini akan memberikan rerata proteksi sebesar 97,22% untuk diare akibat E. coli; 94,44% terhadap V. cholera E1; dan 91,66% terhadap V. cholera klasik.
Penelitian oleh Dipika Sur, dkk (2011), melibatkan 3.585 anak usia 1-5 tahun di daerah kumuh di Kolkatta (Kalkuta), India. Anak-anak tersebut dibagi menjadi dua kelompok. Setiap hari selama 12 minggu, satu kelompok menerima minuman probiotik dengan L. casei Shirota strain, dan kelompok lain menerima minuman bernutrisi tanpa L. casei Shirota strain. Hasilnya, anak-anak pada kelompok probiotik lebih sedikit mengalami diare.
Saluran pernafasan
Selain diare, flu juga kerap menyerang di musim hujan. Tubuh yang kedinginan dan/atau kebasahan saat hujan, bisa membuat sistem imun melemah sehingga mudah terserang flu. Virus flu lebih mudah menyebar, karena kita cenderung menghabiskan waktu di dalam ruangan dengan banyak orang. Belum lagi, stamina mudah drop akibat kemacetan lalu lintas yang mungkin terjadi saat hujan turun.
Memang, flu dapat sembuh sendiri. Namun, tak jarang pula flu berkembang menjadi menyebabkan ISPA (infeksi saluran pernafasan atas);gejalanya antara lain batuk, radang tenggorokan, sakit kepala dan tubuh pegal-pegal. Ini bisa berlanjut menjadi radang sinus (sinusitis) dan radang amandel (tonsillitis), atau terjadi infeksi sekunder oleh bakteri.
Penelitian oleh Prof. Michael Gleeson dari Universitas Longborough, Inggris (2011), menunjukkan efek probiotik pada atlet yang mengonsumsi Yakult. Sebanyak 84 atlet dibagi menjadi 2 kelompok; 42 orang mendapat Yakult, 42 lainnya mendapat plasebo, 2x sehari selama 16 minggu. Hasilnya, atlet dari kelompok Yakult yang mengalami gejala ISPA selama 1 minggu atau lebih sebanyak 66%, jauh lebih sedikit dibanding kelompok plasebo (90%).
Terhadap sistem imun, efek probiotik terlihat melalui penelitian oleh Fumiko Nagao (2000). Ditemukan, 9 relawan sehat yang mengonsumsi susu fermentasi yang mengandung L. casei Shirota strain selama 3 minggu, mengalami peningkatan sel NK. Efek ini masih terlihat 3 minggu berikutnya. Uniknya, peningkatan ini terutama signifikan pada mereka yang memiliki sel NK rendah.
Yakult mengandung lebih dari 6,5 milyar L. casei Shirota strain, yang tahan terhadap asam lambung sehingga bisa mencapai usus dalam keadaan hidup. Studi oleh Tiengrim, dkk (2012) menunjukkan, mereka yang mengonsumsi Yakult secara reguler selama 1 minggu memiliki L. casei Shirota strain dalam feses (tinja) mereka. Ini menunjukkan, bakteri tersebut membentuk koloni di usus. Konsumsi Yakult secara rutin dan kontinyu, membantu menjaga kesehatan selama musim hujan. (nid)