Mutiara Riani, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Pandemi COVID-19 dalam tujuh bulan terakhir telah mempengaruhi kesehatan reproduksi dan seksual pasangan usia subur (PUS). Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar yang dilakukan pemerintah Indonesia menyebabkan gangguan pada ketersediaan layanan kontrasepsi dan konseling Keluarga Berencana.
Data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukkan keterbatasan akses terhadap layanan kontrasepsi dapat menyebabkan peningkatan angka kehamilan yang tidak direncanakan.
Di Indonesia, BKKBN memprediksi akan ada tambahan 370.000-500.000 kelahiran pada medio awal 2021. Pembatasan kegiatan di luar rumah dan intensitas kebersamaan pasangan usia subur yang meningkat secara signifikan juga mempengaruhi tingginya angka kehamilan.
Sebuah riset global baru-baru ini yang melihat efek pandemi terhadap kesehatan reproduksi di 132 negara miskin dan berkembang memperkirakan akan ada tambahan sekitar 15 juta kehamilan yang tidak direncanakan.
Padahal, kehamilan yang tidak terencana akibat minimnya proteksi pada pasangan akan menyebabkan rendahnya kesiapan untuk memeriksakan kehamilan yang teratur ke dokter. Dampak lanjutannya, risiko-risiko pada ibu dan bayi tidak dapat terdeteksi sejak awal dan tata laksana tidak dapat dilakukan dengan optimal dan menyeluruh.
Ini belum termasuk akan muncul kemungkinan tindakan aborsi ilegal dan risiko bayi dan ibunya kekurangan nutrisi karena pendapatan keluarga mungkin berkurang baik akibat pemutusan hubungan kerja, bisnis seret atau penyebab lainnya. Karena itu, mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada masa pandemi harus diupayakan sekuat tenaga.
Dampak dari keterbatasan akses kesehatan selama kehamilan
Tanpa penyulit apa pun, kehamilan merupakan suatu kondisi yang berisiko, baik bagi ibu maupun bayi. Perubahan alami pada metabolisme dan sirkulasi darah ibu akan meningkatkan beban kerja jantung dan kejadian anemia dalam kehamilan.
Jika perubahan ini tidak dapat diatasi dengan baik oleh ibu, maka akan menyebabkan berbagai dampak buruk pada janin seperti janin dengan berat badan lahir rendah, gangguan fungsi kognitif dan risiko kelahiran prematur.
Demikian pula dengan beberapa kelainan bawaan yang dapat dideteksi sejak dalam kandungan. Deteksi dini akan mempersiapkan calon orangtua dan dokter di fasilitas kesehatan untuk mempersiapkan kelahiran dan rencana tata laksana lanjutan.
Keengganan masyarakat untuk mengunjungi fasilitas kesehatan dan pembatasan operasional klinik keluarga berencana, karena dianggap bukan merupakan layanan darurat dan utama pada masa pandemi sekarang ini, menjadi salah satu alasan yang berkontribusi pada terjadinya gangguan ini.
Kehamilan yang tidak direncanakan akan memiliki berbagai dampak yang negatif terhadap ibu dan bayi. Kondisi saat pra-konsepsi tentu tidak berada dalam keadaan yang paling optimal mengingat pasangan usia subur tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi kehamilan ini. Demikian pula dengan kunjungan pemeriksaan kehamilan di dokter sebaiknya dilakukan sesegera mungkin setelah seorang ibu menyadari dirinya hamil.
Keengganan untuk periksa karena khawatir tertular virus dari fasilitas kesehatan menjadi faktor utama yang menyebabkan turunnya kunjungan. Padahal kunjungan pemeriksaan kehamilan bertujuan untuk memastikan tumbuh kembang bayi dan keadaan ibu selama kehamilan dalam keadaan optimal sehingga bayi akan lahir dengan sehat dan ibu menjalani proses kehamilan dan bersalin dengan perasaan yang positif.
Jika kunjungan ini tidak dilakukan dengan baik, maka risiko kesakitan dan kematian pada ibu dan bayi akan semakin meningkat dan kualitas generasi penerus bangsa dipertaruhkan.
Risiko kehamilan di tengah ancaman krisis ekonomi global
Per 26 Agustus, pandemi COVID-19 telah menelan korban lebih dari 800.000 jiwa secara global dengan jumlah orang terinfeksi hampir 24 juta. Keadaan buruk ini memaksa pemerintah di seluruh belahan dunia membatasi kegiatan massal yang kemudian membawa status ekonomi dunia, termasuk Indonesia, ke titik nadir dan menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaannya.
Resesi ekonomi membuat sebagian besar orang berpikir ulang untuk menjalani proses kehamilan. Kehamilan memerlukan biaya yang tidak sedikit. Ibu hamil perlu biaya untuk asupan gizi dan vitamin serta kunjungan periksa ke dokter selama kehamilan. Selain itu ibu juga perlu biaya proses persalinan dan penyediaan makanan bergizi pada saat menyusui.
Situasi ekonomi yang memburuk dapat menyebabkan nutrisi selama kehamilan tidak tercukupi dengan baik dan dapat mempengaruhi kesehatan ibu dan janin.
Ibu akan rentan terhadap risiko anemia dan tekanan darah tinggi dalam kehamilan hingga risiko perdarahan saat persalinan yang dapat berujung pada kematian. Janin akan berisiko mengalami pertumbuhan terhambat di dalam kandungan yang dapat memicu berat badan di bawah 2.500 gram.
Pencegahan yang dapat dipertimbangkan
Melihat dampak jangka panjang yang dapat ditimbulkan akibat kehamilan tidak terencana selama masa pandemi, maka perlu dilakukan langkah-langkah yang efektif dan tepat guna untuk menurunkan angka kehamilan.
Saat ini Kementerian Kesehatan dan BKKBN sudah menetapkan layanan kesehatan reproduksi, termasuk di dalamnya layanan pemeriksaan kehamilan dan keluarga berencana (KB), sebagai layanan esensial dengan prioritas tinggi selama masa pandemi.
Masyarakat harus diedukasi mengenai pentingnya kesehatan reproduksi dan perlunya merencanakan kehamilan sebaik mungkin termasuk kesiapan ekonomi. Edukasi dapat dilakukan di seluruh lapisan masyarakat dengan melibatkan tenaga kesehatan dari fasilitas tingkat primer hingga tersier dan para tokoh masyarakat seperti kader, pejabat masyarakat dan para pemuka agama.
Kemudian perlu digalakkan pemanfaatan teknologi telemedicine agar masyarakat dapat dengan mudah menjangkau dokter untuk berkonsultasi mengenai pilihan kontrasepsi dan persiapan kehamilan yang terbaik.
Konsultasi dapat menjadi bekal untuk menentukan metode kontrasepsi yang tepat dan jika memungkinkan dapat dilakukan layanan antar alat kontrasepsi ke rumah, terutama untuk kontrasepsi berbentuk pil dan kondom.
Mutiara Riani, Dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
____________________________________________________