Walau imbauan untuk tidak takut apalagi panik terus didengungkan, tetapi kadang kita tidak bisa mengontrol reaksi tubuh sendiri. Reaksi panik seperti badan terasa tidak enak, atau gejala batuk pilek mungkin muncul bila setelah baca berita tentang COVID-19 .
Masifnya pemberitaan tentang penyebaran virus corona bisa menjadi pisau bermata dua, menambah informasi tetapi juga bisa menimbulkan ketakutan/kecemasan yang berlebihan.
Dr. Andri, SpKJ, FACLP, dari Klinik Psikosomatik RS OMNI Alam Sutera, Tangerang, dalam akun Twitternya menyebutkan saat ini ketika kita membaca berita atau cerita tentang gejala COVID-19 bisa saja tiba-tiba kita merasa tenggorokan agak gatal, nyeri dan merasa sedikit meriang walau suhu tubuh normal.
“Itu wajar. Reaksi psikosomatik tubuh saat ini memang (bisa) terasa,” cuitnya.
Salah satu yang membuat reaksi ini bisa timbul adalah kecemasan kita yang dipicu oleh berita-berita yang terus menerus.
Bagian otak yang disebut amigdala atau pusat rasa cemas, sekaligus memori, menjadi terlalu aktif bekerja, sampai akhirnya dia tidak sanggup mengatasi beban kerja tersebut.
“Amigdala yang berkerja berlebihan ini juga mengaktifkan sistem saraf otonom secara berlebihan, kita jadi selalu dalam kondisi fight or flight, atau siaga terus menerus,” imbuhnya.
“Ketidakseimbangan ini yang membuat gejala psikosomatis muncul sebagai suatu reaksi untuk siap siaga menghadapi ancaman.”
Rasa takut dibutuhkan dalam porsi yang pas
Dari sudut pandang biologis, ketakutan adalah emosi yang sangat penting. Emosi ini membantu kita merespons dengan tepat situasi yang mengancam dan membahayakan kita.
Respons ini dihasilkan oleh stimulasi amigdala, diikuti oleh hipotalamus. Ketika amigdala menstimulasi hipotalamus, ia memulai respons melawan atau lari (fight or flight). Hipotalamus mengirimkan sinyal ke kelenjar adrenalin untuk menghasilkan hormon, seperti adrenalin dan kortisol.
Saat hormon-hormon ini memasuki aliran darah, kita akan merasakan beberapa perubahan fisik, seperti peningkatan detak jantung, tingkat pernapasan, gula darah dan berkeringat.
Membedakan dengan gejala sungguhan
Dr. Andri menjelaskan ada beberapa hal yang dikaitkan dengan gejala psikosomatik, seperti gejala yang hilang timbul (tidak terus menerus), atau gejala yang berpindah-pindah.
Pemeriksaan obyektif bisa dilakukan untuk menegakkan diagnosa, terlebih bila gejala batuk, pilek disertai sesak napas dan demam.
“Sesak napas itu juga bisa karena reaksi cemas, tetapi tidak terus menerus. Biasanya pada kondisi cemas atau panik,” tulisnya.
Kurangi mengakses media sosial
Salah satu cara mengurangi gejala psikosomatis akibat terlalu aktifnya amigdala adalah dengan mengurangi dan membatasi informasi terkait wabah virus corona.
Dr. Andri menyarankan untuk melakukan hal-hal lain selain browsing di media sosial, lebih banyak lakukan hobi yang menyenangkan dan sebisa mungkin sebarkan optimisme bila kita bisa melewati pandemik ini.
Terlebih lagi perlu diwaspadai bila informasi yang bertebaran di internet tentang COVID-19 ini belum tentu semuanya benar. Informasi palsu alias hoax justru akan memperparah dan memicu reaksi ketakutan.
Baca juga : Tips Menjaga Kesehatan Mental Tetap Optimal Selama Pandemik COVID-19