Gangguan psikologis pada penderita epilepsi perlu dideteksi, karena bisa berdampak besar pada penderita. Tak jarang, anak epilepsi mengalami depresi berat. Penelitian di Denmark, penyandang epilepsi memiliki kecenderungan bunuh diri hingga 3x lipat, dan perempuan lebih berisiko ketimbang laki-laki.
Bisa terjadi trias depresi di mana emosi, kemampuan berpikir dan kemampuan psikomotorik menurun. “Selain merasa sedih dan tidak berdaya, kemampuan berpikir dan keinginan bergerak turun sehingga potensi anak hilang,” terang Dr. dr. Tjhin Wiguna, Sp.KJ (K) dari Divisi Psikiatri Anak dan Remaja Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa RSCM /FKUI. Depresi banyak terjadi pada anak usia 12-18 tahun (25,5%).
Pada anak yang lebih muda (6-12 tahun), lebih banyak terjadi gangguan cemas. Terjadi karena orangtua merasa cemas, sehingga overprotektif terhadap anak. Akhirnya anak bertanya-tanya, apa yang salah dengan dirinya, dan akhirnya muncul kecemasan.
“Gangguan psikologis perlu dikenali sejak dini oleh dokter, orangtua dan guru,” ujar Dr. dr. R.A Setyo Handryastuti, Sp.A (K) dari FK Universitas Indonesia. Tanda depresi antara lain sulit berteman di sekolah, mengisolasi diri, tidak percaya diri, mudah marah/tersinggung. Anak merasa cemas tanpa alasan. Misalnya cemas berpisah, sehingga ibu atau pengasuh harus menunggu di luar kelas, takut keluar kelas, cemas terhadap apapun yang sebetulnya tidak perlu dicemaskan. “Ini membuat anak bergantung pada orang lain, terutama pada orangtua,” imbuh dr. Handry.
Epilepsi tidak selalu memunculkan kejang. Banyak tipe epilepsi pada anak, salah satunya petit mal. “Pada petit mal tidak timbul kejang. Anak seperti melamun, tiba-tiba jatuh. Orangtua sering tidak menyadari,” tutur Dr. dr. Tjhin. Bisa pula, saat naik tangga atau bermain sepeda, tiba-tiba jatuh. Ketika bangun ia bingung, apa yang terjadi. Anak dengan petit mal cenderung neurotis, lebih pencemas, membuat anak tidak percaya pada kemampuannya.
Tipe epilepsi lain kejang parsial kompleks, terutama pada bagian otak lobus temporal, anak cenderung lebih agresif. Tidak bisa bersosialisasi dengan baik, cenderung kasar, menyerang dan memicu perkelahian. Anak tidak bisa mengontrol perilaku dan emosi, impulsif; bertindak tanpa berpikir. Ketika bermain, ia mendorong betulan hingga bisa mencelakakan teman.
“Kadang, orangtua tidak sadar atau tidak mau menerima kondisi anaknya, meski sudah diingatkan guru atau lingkungan,” lanjut Dr. dr. Tjhin. Bila dibiarkan, anak bisa dicap sebagai anak nakal, kasar dan lain-lain, yang membuat anak terpojok dan terganggu secara psikologis.
Ada beberapa tes yang bisa diberikan kepada orangtua, untuk menilai kondisi anak. Misalnya SDQ (Strength and Difficulties Questionnaire), CBCL (Child Behavior Checklist) dan PSC (Pediatric Symptoms Checklist). (nid)