Penyakit ginjal kronis (PGK) dapat dihindari, sama dengan menghindari sindrom metabolik (SM), yang sering disebabkan hipertensi dan diabetes melitus (DM) tipe 2. Sumber karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, serat dan air harus dikonsumsi seimbang. “Ditambah olahraga teratur 30 menit, 3-4 kali seminggu,” ujar dr. Dharmeizar, Sp.PD-KGH, dari Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI). Olahraga rutin, teratur dan terukur menyehatkan ginjal, memperbaiki fungsi otot, menurunkan tekanan darah dan kolesterol, menjaga berat badan (BB) dan memperbaiki pola tidur.
Menurut peneliti Universitas Johns Hopkins, Amerika Serikat (AS), pola makan tinggi daging merah dan daging olahan, sodium (garam), gula dan minuman manis, namun rendah buah, kacang-kacangan, sayur, biji-bijian utuh dan produk susu rendah lemak, lebih mungkin menderita penyakit ginjal. Penelitian juga menemukan, 1% orang tanpa diet atau pola makan tidak sehat memiliki protein di urin, yang merupakan tanda awal kerusakan ginjal, 13% partisipan dengan sedikitnya tiga faktor seperti obesitas, merokok dan pola diet jelek, mengalami hal tersebut.
Penderita obesitas dengan indeks massa tubuh (IMT) >30, kemungkinan menderita PGK 2x lipat. Pola makan jelek berisiko PGK, meski dilakukan penyesuaian BB dan faktor-faktor pengaruh lain. Juga ditemukan hubungan merokok dengan PGK. Perokok berkemungkinan 60% menderita PGK.
Mereka yang sudah memiliki gangguan pada jantung dan pembuluh darah seperti hipertensi, kolesterol tinggi, DM2 atau ada riwayat penyakit tersebut dalam keluarga, disarankan diet lebih ketat, sehingga komplikasi bisa dicegah. “Disarankan makan rendah lemak, banyak sayur dan buah, hindari kegemukan,” tegas dr. Dharmeizar. Gula dan garam juga perlu dibatasi.
Kelola penyakit
Hipertensi dan ginjal memiliki hubungan vice versa; hipertensi bisa menimbulkan komplikasi pada ginjal, sebaliknya PGK bisa menyebabkan hipertensi. Penderita hipertensi atau yang memiliki riwayat hipertensi dalam keluarga, harus mencapai tekanan darah <140/90 mmHg.
Perlu kontrol teratur. Pasien beranggapan, bila sudah minum obat, tidak perlu kontrol ke dokter. Merasa sudah sembuh, karena tensi sudah kembali normal. “Tekanan darah normal bukan berarti sembuh, tapi terkontrol,” tukas dr. Dharmeizar. Kontrol teratur perlu dilakukan untuk memonitor dan menilai keberhasilan terapi. Setelah didiagnosis hipertensi dan diberi obat, pasien perlu kontrol satu bulan kemudian, “Karena mungkin target belum tercapai dengan obat yang diberikan. Mungkin perlu beberapa macam obat untuk mencapai target.”
Pasien diabetes juga. Tekanan darahnya harus lebih rendah lagi, <140/80-85 mmHg. Berdasar rekomendasi PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia), DM terkontrol baik bila HbA1c <7%, kadar gula darah puasa <110 mg/dl, dan 2 jam setelah makan (post prandial) <145 mg/dl. Seperti hipertensi, bila kadar gula darah normal berarti terkontrol, bukan sembuh.
Ketika pertama kali ke dokter dan kadar gula misalnya 250 mg/dl, dokter tidak akan langsung memberi beberapa jenis obat. “Kondisi tiap pasien berbeda, biasanya diberikan satu macam obat dulu. Satu-dua bulan kemudian dievaluasi. Bila belum terkontrol, dosis obat dinaikkan,” papar dr. Dharmeizar. (nid)
Ilustrasi: Man photo created by shayne_ch13 - www.freepik.com