Antibiotik sudah terbukti manfaatnya untuk menyembuhkan penyakit, khususnya yang disebabkan oleh bakteri. Tetap penggunaan yang sembarangan berisiko membuat bakteri menjadi kebal, pengobatan lebih sulit, dan risiko kematian meningkat.
Bayangkan jika dalam sebuah operasi, luka operasi sulit sembuh dan terinfeksi, gara-gara bakteri kebal pada antibiotik yang diberikan, ini sangat membahayakan nyawa pasien tersebut.
Sejak penicillin diproduksi tahun 1940-an, antibiotik dianggap sebagai obat dewa, ia menyelamatkan miliaran nyawa penderita infeksi. Sebelum tahun 1940 pasien infeksi mudah meninggal, bahkan jumlahnya melebihi jumlah korban perang dunia II saat itu.
Sir Alexander Fleming, sang penemu penicillin perah berujar, “Sangat mudah menimbulkan kuman resisten, ketika ia terpapar antibiotik dengan konsentrasi rendah dan antibiotik mudah didapat di mana-mana.” Kata-katanya menjadi kenyataan, pada tahun 1945 bakteri sudah resisten pada penicillin.
Dr. Anis Karuniawati, PhD, SpMK(K), ahli mikrobiologi, menjelaskan secara natural dari sekian juta bakteri sejenis, ada beberapa yang anomali. Bakteri itu secara alami resisten pada antibiotik. Karena tidak mati saat diberi antibiotik ia akan berkembang biak, tatapi membutuhkan waktu lama untuk “melahirkan” bakteri baru yang kebal antibiotik (disebut superbug).
“Namun dengan pemberian antibiotik tidak pada tempatnya akan mempercepat proses tersebut,” ujarnya.
Jika sudah demikian pengobatan, misalnya pada radang paru-paru (pneumonia), tuberkulosis (TB) dan gonorrhoea, menjadi lebih sulit dan lebih mahal. Perlu dipahami bahwa pengembangan satu antibiotik baru membutuhkan setidaknya 10-15 tahun penelitian. Sementara resistensi antibiotik dapat terbentuk 2 tahun setelah antibiotik pertama digunakan.
Jika resistensi antibiotik terus terjadi, ditakutkan kita akan kembali pada era pra-antibiotik, hanya bedanya saat ini bakterinya tergolong superbug.
Kesalahpahaman antibiotik
Yang terjadi saat ini adalah ada kesalahpahaman tentang antibiotik, seperti antibiotik dapat membunuh virus dan bisa menyembuhkan semua penyakit infeksi.
Sebagian orang juga beranggapan antibiotik bahkan bisa digunakan untuk pencegahan penyakit, dan tidak masalah menggunakan antibiotik secara bebas, toh obatnya dijual bebas - Riskesdas 2013 melaporkan 86,1% masyarakat menyimpan antibiotik di rumah tanpa resep dokter.
Dijelaskan oleh dr. Nurul I. Hariadi, MD, FAAP., dari Yayasan Orang Tua Peduli, bahwa antibiotik hanya dapat membunuh bakteri (bukan virus). Sehingga digunakan untuk pengobatan penyakit karena infeksi bakteri, seperti radang paru-paru atau TB.
“Bukan untuk mengobati batuk, pilek, muntah atau diare biasa. Bukan pula untuk mencegah penyakit tertentu,” tegasnya.
Pemakaian antibiotik sembarangan, terang dr. Nurul, selain menciptakan resistensi bakteri, juga berisiko merusak ginjal dan hati.
Antibiotik berinteraksi dengan obat lain, sehingga akan mempengaruhi/dipengaruhi efektifitas obat lain dan/atau antibiotik itu sendiri. Berisiko memicu reaksi hipersensivitas, seperti sindrom Steven-Johnson (melepuh di kulit, selaput lendir, lubang mulut, hidung dan mata).
Resistensi antibiotik dapat terjadi jika ada penggunaan yang berlebih atau kurang (tidak sesui petunjuk). Maka sebagai upaya pencegahan perlu perilaku hidup bersih dan sehat untuk mencegah infeksi.
Penting untuk hanya memakai antibiotik bila diresepkan dokter, serta tidak membeli antibiotik secara bebas. Selalu habiskan obat antibiotik yang diresepkan, tidak menggunakan antibiotik sisa. Dan, tidak berbagi antibiotik dengan orang lain. (jie)