Terri R. Kurtzberg, Rutgers University Newark
Ketakutan bahwa gangguan-gangguan digital dapat merusak hidup dan pertemanan kita telah tersebar luas.
Yang pasti, kecanduan digital itu nyata. Coba pertimbangkan: kita menyentuh ponsel kita 2.600 kali setiap hari, kita panik kita ketika lupa tempat menaruh gawai, kita merasa ponsel bergetar padahal tidak (dikenal sebagai phantom vibration syndrome), dan kita melihat pemberitahuan ada pesan masuk itu sama mengganggunya seperti melihat pesan itu sendiri.
Kecanduan ini dapat memiliki akibat nyata. Misalnya, orang lain tersinggung jika ketika saat mengobrol, kita berhenti berbicara untuk menjawab pesan masuk. Proses berpikir mendalam kita juga terganggu ketika kita melirik gawai saat melakukan suatu pekerjaan.
Tapi tentu tidak semuanya buruk. Kita juga perlu mengakui bahwa teknologi dewasa ini dapat membuat kita lebih terhubung daripada sebelumnya.
Jadi bagaimana kita menghindari potensi hal-hal buruk sambil tetap menuai manfaatnya?
Bagaimana layar mempengaruhi interaksi kita
Sebagai seorang peneliti di bidang teknologi dan komunikasi, selama hampir dua dekade saya telah memperhatikan bagaimana cara berinteraksi melalui layar berbeda dengan interaksi dengan cara lain, termasuk tatap muka, dengan menelepon, dan secara tertulis.
Tim penelitian saya telah menerbitkan berbagai riset yang menunjukkan bahwa orang lebih mementingkan diri sendiri (yaitu, mereka lebih sering berbohong), lebih negatif (misalnya, memberi orang lain peringkat umpan balik yang lebih rendah), dan lebih tidak kooperatif) ketika mereka menggunakan sarana komunikasi digital. Dan untuk anak di bawah lima tahun, ada kekhawatiran serius untuk perkembangan otak.
Ketakutan kita mengenai dampak dari meningkatnya penggunaan layar pada diri dan anak-anak kita melibatkan tiga hal utama: kesehatan mental, kecanduan, dan tingkat keterlibatan dengan apa yang terjadi di sekitar kita. Risiko di ketiga area tersebut pada umumnya dilebih-lebihkan.
Banyak studi yang dilakukan terhadap potensi adanya kaitan antara depresi dan penggunaan ponsel - terutama pada remaja - namun bukti terbaru tampaknya mengindikasikan bahwa kaitan tersebut lemah.
Sementara untuk kecanduan, bidang psikologi sekarang telah mengakui kecanduan video game sebagai masalah yang nyata dan dapat didiagnosis. Cerita dari pusat rehabilitasi tentang orang-orang yang hidupnya rusak karena video game menunjukkan fenomena dan penderitaan tersebut bisa sangat nyata.
Namun kondisi ini langka apabila dibandingkan dengan jumlah orang yang bermain permainan daring tanpa dampak serius.
Dan dalam hal keterlibatan, meski waktu yang dihabiskan pada penggunaan layar meningkat, sebagian besar anak-anak masih mampu belajar, berteman, dan terus menjalani kehidupan yang produktif.
Dunia yang lebih terhubung
Seiring makin banyaknya interaksi kita beralih dari yang tradisional - tatap muka - ke dunia daring, menurut saya, kita harus menyadari bahwa di beberapa bidang, kekayaan dan keterlibatan juga mungkin meningkat.
Rekan dapat bekerja bersama dari jauh, teman dapat tetap berhubungan tanpa batasan dan kakek-nenek dapat secara langsung berinteraksi dengan cucu-cucu mereka tanpa perlu menjadwalkan kunjungan atau melalui orang tua mereka.
Bahasa berubah ketika interaksi kita terjadi dalam waktu yang singkat, dan memungkinkan kita untuk terhubung dengan cara yang lebih santai. Humor berubah seiring kita dapat menambahkan visual - gambar, emoji, GIF, meme - ke dalam pesan kita. Bahkan video game daring dapat menjadi portal untuk meningkatkan interaksi sosial bagi sebagian orang.
Apakah kita bermasalah?
Mungkin cara terbaik untuk mengevaluasi waktu yang dihabiskan untuk ponsel kita adalah dengan menanyakan dua pertanyaan terkait.
Pertama, apa yang kita lakukan dengan waktu yang kita habiskan dengan ponsel kita, dan apakah itu konsisten dengan nilai dan prioritas kita?
Jika kita merasa bahwa kita dan anak-anak kita menikmati waktu di depan layar tanpa mengorbankan waktu tidur, kerja atau interaksi langsung, kita mungkin tidak perlu terlalu khawatir. Untuk membantu masalah ini, alat dan aplikasi yang dapat melacak waktu layar (screen time) kita dan memberi tahu perhatian kita habis di mana saja - atau bahkan membatasi penggunaan tersebut - makin banyak tersedia.
Kedua, apa saja titik buta (blind spots) kita terkait di mana dan bagaimana penggunaan ponsel mungkin membatasi hidup kita selamanya?
Sebagian besar dari kita menyadari bahwa kita seharusnya tidak menggunakan ponsel sebelum tidur - atau, lebih buruk lagi, ketika mengemudi atau menyeberang jalan - dan kita tahu kita harus mengawasi anak-anak dan remaja kita untuk memastikan bahwa mereka membangun kebiasaan baik, di dalam maupun di luar dunia digital.
Penelitian terbaru menunjukkan beberapa pelajaran. Misalnya, ternyata kita tidak semampu yang kita kira dalam hal multitasking: Kita biasanya buruk dalam memberikan perhatian pada dua tugas ketika kita mencoba melakukan dua hal itu pada waktu yang bersamaan. Seiring waktu, orang yang melakukan hal ini terus-menerus akan memiliki tingkat kesalahan yang lebih besar pada tugasnya, yang mungkin terkait dengan ingatan yang lebih buruk.
Bahkan keberadaan ponsel saja dapat membatasi keterlibatan dengan pekerjaan kita dan kemampuan kita untuk membangun hubungan dengan orang lain.
Menemukan keseimbangan yang sulit dicari
Semua ini berarti bahwa meski kita mungkin tidak perlu khawatir tentang penggunaan ponsel, tapi terdapat momen-momen saat kita seharusnya membuat gawai kita tidak terlihat dan terdengar. Ini akan memberi kita kesempatan terbaik untuk memikirkan tugas-tugas kompleks tanpa gangguan atau untuk berinteraksi lebih baik dengan orang-orang di sekitar Anda.
Menyingkirkan ponsel kita sepenuhnya tampaknya tidak realistis atau tidak diinginkan: masyarakat telah bergerak maju dengan ponsel ada dalam genggaman.
Tapi memilih momen-momen ketika kita sebaiknya sama sekali tidak terganggu ponsel dapat membantu kita untuk tetap hidup sehat.
Aisha Amelia Yasmin menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.
Terri R. Kurtzberg, Associate Professor of Management and Global Business , Rutgers University Newark
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
____________________________________________
Ilustrasi: People photo created by katemangostar - www.freepik.com