Pola makan tinggi kalori, lemak, dan gula, serta kurang bergerak, menjadi faktor risiko utama terjadinya DM2 di kota-kota besar seperti Jakarta. Tak heran bila usia penyandang DM2 makin muda. “Pasien saya yang termuda usianya 32 tahun,” ujar dr. Rachmad Wishnu Hidayat, Sp.KO dari Pusat Kedokteran Olahraga Indonesia ISMC.
Alasan yang paling sering diutarakan oleh kelompok usia produktif kenapa tidak berolahraga rutin: sibuk. “Untuk itu, lakukanlah olahraga yang singkat dan bisa dilakukan di kantor. Karena setelah pulang ke rumah, sudah telanjur capek,” ucapnya.
Kini mulai dipopulerkan senam peregangan di kantor-kantor. Ini bagus untuk mencegah dan mengatasi nyeri otot/otot kaku, tapi sayangnya, tidak banyak bermanfaat untuk mencegah dan mengelola diabetes atau pra diabetes. “Untuk bisa menurunkan kadar gula darah, dibutuhkan latihan fisik dengan tempo dan gerakan yang lebih cepat,” jelas dr. Wishnu, dalam peringatan World Diabetes Day 2019 di Universitas Yarsi, Kamis (14/11/2019).
Disarankan berolahraga minimal 30 menit sehari, 5-7 kali dalam seminggu. Menurut penelitian, 30 menit ini tidak harus dilakukan langsung secara kontinyu; bisa dibagi menjadi dua atau tiga sesi. Misalnya 15 menit di pagi hari saat tiba di kantor, dan 15 menit di sore hari sebelum pulang ke rumah. “Yang penting akumulasi 30 menit, dan intensitas latihannya sedang. Ini sudah memberi efek yang positif untuk penurunan gula darah,” tuturnya.
Latihan bisa berupa senam aerobik, senam diabetes, jalan kaki, atau menggunakan fasilitas olahraga bila ada di kantor. Untuk senam, durasinya bisa 30-60 menit untuk gerakan inti, tidak termasuk pemanasan.
Usahakan jangan sampai tidak berolahraga sampai 48 jam. Terlebih bila sudah ada masalah peningkatan gula darah. Penelitian menemukan, berolahraga secara rutin bisa menurunkan nilai HbA1c sebesar 0,5-2%. Penurunan HbA1c akan menurunkan risiko komplikasi diabetes, serta bisa mengurangi dosis obat.
Bagi penyandang diabetes yang sudah memiliki komplikasi, pilihan olahraganya lebih terbatas, disesuaikan dengan kondisi kesehatannya. “Misalnya yang sudah mengalami luka kaki diabetes, maka bisa senam sambil duduk, atau bersepeda statis. Durasi dan intensitasnya sama. Untuk jalan cepat aau berenang, tentu tidak mungkin,” papar dr. Wishnu.
Bila kebugaran sudah cukup terlatih, bisa melakukan latihan fisik dengan metode HIIT (high intensity, interval training). Yakni latihan dengan kombinasi intensitas sedang dan tinggi berselang-seling, dalam sekali sesi latihan. “HIIT boleh dilakukan oleh penyandang diabetes. Manfaatnya banyak. Selain efektif menurunkan dan mengendalikan kadar gula darah, juga efektif membakar lemak dan menurunkan berat badan,” terang dr. Wishnu.
Tentunya, gula darah harus terkontrol bilaingin melakukan HIIT, “Kalau tidak terkontrol, dikhawatirkan bisa terjadi hipoglikemi.” Tingkat kebugaran pun harus sudah terlatih sebelumnya, dan kondisi fisik memang memungkinkan untuk melakukan HIIT. Di tahap awal, HIIT harus didampingi oleh instruktur/personal trainer bersertifikat, untuk menghindari risiko cedera saat berolahraga.
Yang terpenting, harus berkomitmen untuk olahraga rutin. Seperti diutarakan oleh dr. Dicky Levenus Tahapary, Sp.PD, Ph.D, dari Perkumpulan Endokrinologi (PERKENI), “Jangan cari waktu luang untuk olahraga, tapi sempatkan selalu untuk berolahraga!” (nid)
____________________________________________