Penyakit ginjal kronis (PGK) menimbulkan beban berat bagi perekonomian negara. “Sejak 2015, hemodialisis (HD) menyedot biaya BPJS nomor dua setelah jantung; lebih banyak daripada kanker,” ungkap Dr. dr. Aida Lidya, Sp.PD-KGH, dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) bekerjasama dengan Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (CHEPS-FKMI UI) di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Data sepanjang Januari 2014-Desember 2015 menunjukkan, jumlah pasien penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) mencapai lebih dari 5 juta orang, dengan rincian 4.5 juta rawat jalan dan >600.000 orang menjalani rawat inap. Total klaim biaya perawatan HD mencapai 7,6 triliun, sejak awal BPJS (2014) sampai 2016. Pada 2015 saja, tercatat bahwa penanganan pasien gagal ginjal memakan biaya Rp. +4 triliun.
“Sekitar 90% pembiayaan hemodialisis berasal dari JKN,” tegas Dr. dr. Aida. Sisanya 10% gabungan dari probadi, asuransi pribadi, dan asuransi perusahaan. Maka bisa dibayangkan betapa berat beban pemerintah untuk membiayai pengobatan terapi pengganti ginjal.
Baca juga: Risiko Penyakit Ginjal pada Perempuan
Sekadar informasi, pasien PGK stadium 5 (tahap akhir) ginjalnya sudah tidak berfungsi lagi, sehingga fungsi ginjal dalam menyaring darah harus digantikan. Saat ini ada tiga pilihan yang tersedia: HD, CAPD (continuous ambulatory peritoneal dialysis atau cuci darah lewat perut), dan transplantasi ginjal.
Sekitar 98% pasien PGTA menjalani HD, dan hanya 2% yang menjalani CAPD. Untuk transplantasi lebih sedikit lagi, karena alasan biaya dan sulitnya mendapatkan donor. Data BPJS Januari – Desember 2016 menunjukkan, baru 18.597 peserta CAPD dengan total biaya 98,7 miliar. “Jauh dibandingkan pasien HD yang mencapai 3,1 juta orang dengan total biaya 3,1 triliun rupiah,” terang Prof. Budi Hidayat, S.KM, MPPM, Ph.D, Ketua CHEPS FKMI UI.
Ada beberapa alasan mengapa CAPD kurang disukai. Sejak BPJD diberlakukan pada 2014, unit HD berkembang pesat. “Diduga, praktik HD memang sangat menguntungkan bagi klinik atau RS penyedia layanan HD,” ucap Prof. Budi. Padahal, hasil beberapa kajian menunjukkan bahwa CAPD sebenarnya lebih efektif secara biaya dibandingkan HD. Selain itu kualitas hidup pasien yang menjalani CAPD umumnya lebih baik, dan tidak membutuhkan klinik atau sarana khusus.
Baca juga: Pilihan Dialisis via Perut
Saat pasien PGTA berobat, klinik/RS tidak hanya menyediakan unit HD tapi juga memberikan nasihat. “Maka, terapi yang akan dijalaninya sangat tergantung nasihat penyedia,” tandas Prof. Budi. Hampir 90% klaim biaya HD akan masuk ke fasilits kesehatan (faskes) yang menyediakan layanan HD.
Sebaliknya, CAPD dinilai kurang menguntungkan; tidak ada (atau minim) bayaran bagi dokter dan perawat yang membantu pelayanan CAPD. Dan meski Meski ditanggung BPJS, klaim untuk CAPD belum masuk INA-CBG seperti HD, melainkan dengan klaim terpisah.Isu kedua terkait rendahnya praktek CAPD adalah suplai cairan CAPD yang saat ini dimonopoli satu pemasok. Fresenius Medical care dan Sanbe Farma sebagai pemasok cairan CAPD saat ini masih dalam proses registrasi.
Menurut Dr. dr. Aida, ada peningkatan CAPD pada 2012-2015, tapi tidak signifikan. Pada umumnya, CAPD berjalan dengan baik dalam 2-3 tahun pertama saja. “Tapi setelah itu cenderung makin turun karena mungkin terjadi infeksi,” ucapnya. Target Kemenkes di masa depan, HD bisa turun 50% saja, CAPD ditingkatkan jadi 30%, dan transplantasi 20%. Dr. dr. Aida juga mengungka[kan pentingnya pelayanan yang terintegrasi, “Tidak berarti yang HD ya HD terus. Harus bisa menunjang satu sama lain.”
Baca juga: Menanti Proyek Percontohan CAPD di Jawa Barat
CAPD yang meningkat akan menurunkan pembiayaan, karena biaya CAPD lebih muerah dibandingkan HD. Di Kolombia, perbandingan antara HD dan CAPD hampir setara. Salah satu usaha yang dilakukan di negara tersebut yakni dengan merangkul asuransi swasta untuk skema pembiayaan.
Ditambahkan oleh Prof. Budi, untuk meningkatkan cakupan CAPD butuh intervensi radikal, yaitu mengubah sistem insentif dan mengubah sistem pembayaran sehingga rumah sakit mau beralih dari HD ke CAPD. “Jika ingin menaikkan cakupan CAPD, tidak mungkin tanpa melakukan intervensi sistem insentif, agar CAPD masuk ke skema pembayaran,” pungkasnya. (nid)