Satu dari lima penderita maag (dispepsia) di Indonesia berpotensi memiliki infeksi kuman H. pylori di lambungnya. Temuan ini berdasarkan hasil penelitianKelompok Studi Helicobacter pylori di Indonesia (KSHPI) bekerja sama dengan Prof. Yoshio Yamaoka, peneliti dari Universitas Oita, Jepang, serta didukung oleh Asia Pacific Society of Digestive Endoskopi (APSDE).
Penelitian dilakukan selama tiga tahun (2014 – 2017) di 20 RS di lima pulau besar di Indonesia, dengan total 1.100 pasien maag. “Ditemukan bahwa prevalensi H. pylori di Indonesia sebesar 22,1%. Suku bangsa dan sumber air menjadi salah satu faktor risiko infeksi kuman tersebut,” ujar Dr. dr. Ari Fahrial Syam Sp.PD-KGEH, yang memimpin penelitian. Ini dipaparkannya dalam jumpa pers workshop endoskopi yang diselenggarakan Perhimpunan Endoskopi Gastrointestinal Indonesia (PEGI), dan merupakan bagian dari pertemuan tahunan APSDE yang kali ini diadakan di Jakarta.
Dr. dr. Ari yang juga Ketua PEGI menjelaskan, angka kejadian kanker saluran cerna seperti kanker pancreas dan kanker kolorektal, terus meningkat di Indonesia. Ia menduga, hal ini dipicu oleh kebiasaan mengonsumsi makanan berlemak, kurang makan sayur dan sumber serat lainnya, kurang bergerak, dan obesitas.
Terkait H. pylori, salah satu pembicara Prof. Hisao Tajiri, MD, Presiden Japanese Gastroenterological Endoskopi Society (JGES) memaparkan kondisi di Jepang. “Kuman ini dapat menyebabkan kanker lambung jika tak diobati dengan tuntas,” ujarnya. Di Negeri Sakura, kasus kanker saluran cerna yang terbanyak yakni kanker lambung. “Selain karena pola makan yang salah, juga disebabkan oleh H. pylori,” imbuh Prof. Hisao. Memang, infeksi H. pylori banyak diidap oleh masyarakat Jepang, dan kini dianggap sebagai faktor risiko tinggi untuk terjadinya kanker lambung di sana.
Workshop endoskopi yang berlangsung selama lima hari (11 – 15 September 2017) akan menghadirkan ahli endoskopi saluran cerna dari Jepang. Diharapkan, para dokter spesialis penyakit dalam yang mengikuti pelatihan ini nantinya mampu melakukan tindakan endoskopi tingkat lanjut (advanced endoskopi), sehingga bisa mendiagnosis penyakit saluran cerna lebih akurat.
Pelatihan diikuti oleh dokter dari berbagai daerah. “Dengan demikian bisa terjadi pemerataan pelayanan kesehatan. Pasien tak perlu ke Jakarta untuk memeriksakan penyakit sistem pencernaannya,” tandas Dr. dr. Ari.
Hingga kini, endoskopi masih jadi pilihan pertama pada kasus dispepsia dengan tanda alarm, untuk mengevaluasi penyebabnya. Dilanjutkan dengan pengambilan contoh jaringan (biopsi), utnuk mendeteksi ada/tidaknya H. pylori. Tanda alarm dispepsia meliputi riwayat hematemesis (muntah darah) melena (feses/tinja berwarna hitam, tanda adanya perdarahan saluran cerna), berat badan turun, anemia yang tidak diketahui sebabnya, dan usia >45 tahun.
Peralatan endoskopi di Indonesia sudah maju. Beberapa RS bahkan memiliki ERCP (endoscopic retrograde cholangio pancreatography), endoskopi ultrasound, entroskopi untuk melihat usus halus, dan intra ductal ultrasound untuk memindai batu empedu. Ada juga manometri untuk meneropong tekanan dalam lambung dan kerongkongan yang biasa terjadi pada penderita penyakit maag dan GERD (Gastroesophageal Reflux Disease). Dengan transfer ilmu dari para ahli endoskopi di luar negeri, teknologi canggih ini bisa dimanfaatkan secara optimal. (nid)