Pentingnya Vaksinasi dan ORI dalam Mencegah KLB Dfteri | OTC Digest

Pentingnya Vaksinasi dan ORI dalam Mencegah KLB Difteri

Dua kejadian terkait vaksin akhir-akhir ini membuat jantung dag dig dug. Pertama, KLB (kejadian luar biasa) difteri di berbagai daerah di Indonesia. Data terbaru dari IDI (Ikatan Dokter Indonesia) melaporkan difteri terjadi di 142 kota/kabupaten, 600 kasus dan 38 di antaranya meninggal dunia. Disusul kehebohan soal vaksin degue di Filipina. Dua kejadian yang sayangnya, seperti memberi angin bagi kelompok anti vaksin untuk semakin memojokkan vaksin: bahwa vaksin tidak aman, dan/atau tidak berguna.

Sebagian orang menilai, terjadinya KLB difteri membuktikan bahwa vaksin DTP tidak bermanfaat. Alasan yang dikemukakan, vaksinasi DTP telah dijalankan dalam program imunisasi nasional sejak 1970-an, dan cakupannya secara nasional pun begitu tinggi. Betulkah vaksin tidak diperlukan dan berbahaya? Penjelasan dari dua pakar dalam bidang vaksinasi di bawah ini hendaknya mencerahkan pemahaman kita. (Baca juga: Sebab Terjadinya KLB Difteri Meski Vaksin DPT Sudah Masuk Program)

“Kasus difteri di Amerika Serikat turun sejak 1940 dengan vaksinasi,” tegas Dr. dr. Hindra Irawan Satari, Sp.A(K) dalam diskusi yang diselenggarakan forum Ngobras belum lama ini di Jakarta. Vaksin toksoid difteri mendapat lisensi pada 1923, tapi baru digunakan secara luas di Amerika Serikat (AS) pada 1930-an. Pada 1960, kasus difteri yang awalnya mencapai 20.000 kasus per tahun, turun drastis jadi hanya 2.000/tahun. Sejak 1980 dan seterusnya hingga sekarang, hanya ditemukan paling banyak lima kasus difteri/tahun. Dr. dr. Hinki, begitu ia biasa disapa, menambahkan, data di AS begitu lengkap lalu dianalisis dan dipublikasi, sehingga bisa kita pelajari.

Di negara-negara bekas Uni Soviet pernah terjadi epidemi masif difteri pada 1990-an. Sepanjang 1990-1995, epidemi telah melanda 15 negara bekas Uni Soviet, dengan >157.000 kasus dan >5.000 kematian. Di beberapa negara, hingga 80% kasus difteri dilaporkan terjadi pada orang dewasa. Padahal, penyakit ini sebelumnya sudah terkontrol dengan baik di Uni Soviet selama >2 dekade, setelah dijalankannya imunisasi universal pada akhir 1950. Terjadinya outbreak difteri dan variasi usia pasien diyakini terjadi karena beberapa faktor, termasuk kurangnya vaksinasi rutin pada dewasa di negara-negara tersebut.

Apa yang terjadi di Indonesia tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di bekas Uni Soviet. Ditengarai, KLB difteri terakhir muncul pada 1990. “Waktu saya kuliah kedokteran, masih sering menemukan kasus diferi. Tapi begitu saya praktik jadi dokter anak, sudah jarang sekali,” ungkap Prof. Dr. dr. Sri Rezeki S. Hadinegoro, Sp.A(K), Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas Indonesia, Jakarta. (Baca juga: Difteri, Penyakit Lama yang Muncul Lagi)

KLB dan cakupan vaksinasi

Berdasarkan Infodatin Situasi Imunisasi Indonesia yang dibuat oleh Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan, jumlah kasus difteri cenderung meningkat sejak 2007 (183 kasus). Prof. Sri menjelaskan, IDAI sudah mewanti-wanti sejak 2010, ketika kasus difteri makin tinggi (385 kasus), dan mencapai puncaknya pada 2012 (1.192 kasus). Setelah dilakukan ORI (outbreak response immunization) dengan cakupan 95% berhasil diturunkan, tapi tetap terjadi ratusan kasus. Pada 2016 tercatat 415 kasus.

Namun masih ada sumber-sumber penulatan yang belum selesai. “Harusnya saat itu semua dicegah dan (mata rantainya) dibasmi dengan vaksin DTP. Tapi banyak yang menolak, terutama daerah kantung-kantung yang tidak mau diimunisasi,” sesalnya. Misalnya daerah Tapal Kuda di Jawa Timur. Juga ada kelompok-kelompok anti vaksin di berbagai daerah misalnya Jawa Barat, Banten, Tangerang, Aceh dan Sumatera Barat.

Dr. dr. Hinki menyampaikan pendapat serupa. “KLB difteri tidak datang tiba-tiba; pasti ada sinyal lampu kuning. Sejak 9 tahun lalu sudah banyak kasus di Jawa Timur, diikuti Kalimantan dan Jawa Barat. Tadinya kita tidak peduli. Begitu masuk Jakarta, baru ramai,” tuturnya.

Bagaimana dengan cakupan vaksinasi DTP? Berdasarkan Riskesdas 2013, cakupannya mencapai 75,6%; naik dari 61,9% pada 2010. Namun berdasarkan data rutin, cakupan DTP3 mencapai 99,3% pada 2013, dan pada 2015 sebesar 93,1%. Bila melihat Riskesdas, cakupan DTP untuk kelompok anak usia 2-6 tahun memang masih kurang jauh, karena idealnya >90%. Namun bila melihat data rutin, agaknya cukup beralasan bila kelompok anti vaksin serasa mendapat angin. Karena dengan cakupan sedemikian tinggi, seharusnya tidak lagi ditemukan difteri, apalagi sampai menyebabkan KLB seperti sekarang. Menurut Kambang Sariadji, peneliti bidang Bakteriologi di Balitbangkes Kemenkes dalam artikelnya yang dimuat di The Conversation Indonesia, perbedaan data antara Riskesdas dan Data Rutin disebabkan oleh metode pengambilan data di lapangan.

Diutarakan oleh Dr. dr. Hinki, sekalipun rerata cakupan imunisasi nasional mencapai 90%, harus dilihat lagi cakupan per kabupaten, per kecamatan hingga per kelurahan. “Akan terlihat bolong-bolongnya. Ada kantong-kantong di mana cakupannya sangat rendah,” ujarnya. Ini menciptakan immunity gap atau kesenjangan/kekosongan imunitas penduduk di suatu daerah.

Suatu saat menimbulkan ledakan hingga ke daerah lain, seperti yang terjadi sekarang. Setelah ditelusuri, didapat bahwa mereka yang terkena difteri sekarang, 66% tidak imunisasi dan 33% imunisasi tidak lengkap. Apalagi dengan transportasi antar desa/kota yang semakin baik, mobilitas penduduk semakin tinggi. Kuman jadi begitu mudah dan cepat menyebar dari satu daerah ke daerah lain.

Secara umum, diperlukan cakupan vaksinasi 80% untuk mencapai herd immunity atau kekebalan kelompok. Ditegaskan oleh Prof. Sri, makin menular suatu penyakit, cakupan vaksinasinya harus makin tinggi. “Difteri sangat menular. Idealnya cakupannya 95%, kalau bisa 100%,” ujarnya.

Vaksinasi dewasa dan ORI

KLB difteri kali ini benar-benar luar biasa, karena juga mengenai orang dewasa. “Kelompok dewasa ini dulu tidak mendapat vaksinasi DTP. Vaksin DTP dijalankan dalam program sejak 1970-an, maka mereka yang berusia >40 tahun hampir bisa dipastikan tidak memiliki antibodi, kecuali yang melakukan vaksinasi sendiri,” papar Prof. Sri.

Selain itu, banyak pula orang dewasa yang menjadi carrier, yakni mereka yang tidak sakit tapi membawa kuman dan bisa menularkan kepada orang lain. Maka, orang dewasa pun perlu melakukan vaksinasi difteri. “Agar tidak menularkan ke sekitar, lebih baik vaksinasi saja. Idealnya diulang tiap 10 tahun sekali,” terang Dr. dr. Hinki.

Untuk dewasa, vaksin difteri digabung dengan tetanus, yakni vaksin Td. Huruf d-nya kecil karena dosisnya 1/10 dari dosis anak dengan D besar. Vaksin Td bisa didapat di RS dan praktik dokter. Seharusnya bisa juga dilakukan di Puskesmas, tapi menurut beberapa orang yang sudah bertanya, vaksin Td tidak ada di Puskesmas. (Baca juga: Vaksin DTP Jangan Terlewatkan)

Untuk mengatasi KLB difteri, telah diputuskan untuk dilakukan ORI di tiga provinsi (DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat), dengan mempertimbangkan tingginya prevalensi dan kepadatan masyarakat. Apalagi, akan diselenggarakan DKI Jakarta pada Agustus-September 2018. Tiga dosis ORI harus selesai sebelum gelaran tersebut mulai

ORI dilakukan di Posyandu, Puskesmas dan sekolah, dengan target usia satu hingga <19 tahun. Diberikan sebanyak 3x dengan interval 0-1-6 . ORI pertama mulai dilakukan serentak pada 11 Desember lalu. ORI diberikan tanpa melihat status imunisasi sebelumnya. “Meski status imunisasi anak lengkap, ikut saja. Aman,” tegas Dr. dr. Hinki. Diharapkan cakupan ORI mencapai >90%. Kementrian Kesehatan (Kemenkes) menargetkan 7,9 juta anak yang tinggal di 12 kabupaten di tiga provinsi.

Ada sebuah opini yang mempertanyakan mengapa langsung diambil langkah ORI untuk mengatasi KLB. Mengapa ORI perlu dilakukan? “Karena sumber infeksinya bergentayangan. Bila imunisasi tidak lengkap, kita atau anggota keluarga berisiko kena . Jadi harus dilakukan berbarengan biar tuntas, biar rantai penularannya terputus,” tandas Dr. dr. Hinki. (nid)

_________________________________

Ilustrasi: Pixabay