“Difteri itu penyakit yang sudah hampir punah, tapi muncul lagi,” sesal Prof. Dr. dr. Sri Rezeki Hadinegoro, Sp.A(K), Guru Besar Universitas Indonesia Bidang Ilmu Kesehatan Anak. Sejak Januari hingga November 2017, Kementrian Kesehatan mencatat 593 kasus difteri di 20 provinsi, dengan 32 kematian. Status KLB (kejadian luar biasa) pun ditetapkan. “Difteri itu, satu kasus saja sudah dibilang KLB. Karena tadinya tidak ada menjadi ada,” tegasnya.
Ditengarai, KLB difteri terakhir muncul pada 1990. Berdasarkan pengalaman Prof. Sri, saat ia kuliah kedokteran, masih sering menemukan pasien difteri. “Begitu saya jadi dokter anak, sudah jarang banget. Banyak dokter sekarang belum pernah melihat pasien difteri itu seperti apa, karena memang sudah hilang. Sekarang muncul lagi,” tutur Prof. Sri, yang juga pernah menjadi Ketua Satgas Imunisasi IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia).
Memang, ada satu-dua kasus selama ini. Pada 2011-2012, terjadi KLB difteri di Jawa Timur. Setelah dilakukan ORI (Outbreak Response Immunization) dengan cakupan 95%, akhirnya kasus difteri berhasil diturunkan. Namun naik lagi dan terus berlanjut hingga sekarang. “Kalau vaksinasi (rutin) tidak diteruskan, masih ada sumber-sumber yang belum selesai. Difteri itu tidak gampang diselesaikan. Tinggal meledaknya saja,” ujar Prof. Sri.
Vaksinasi DPT (difteri, pertusis, tetanus) telah jadi program sejak puluhan tahun lalu. Fakta bahwa penyakit ini sempat hampir punah di Indonesia, menunjukkan bahwa program imunisasi berhasil. Namun kembali muncul karena ada kantung-kantung daerah endemis difteri yang gagal memenuhi target vaksinasi, meski secara nasional cakupan DPT tinggi. Dan tak bisa dipungkiri, “tren” anti vaksin makin berkembang.
Kedua hal tersebut membuat DPT tidak sepenuhnya hilang, hingga tercipta immunity gap atau kesenjangan/kekosongan imunitas penduduk di suatu daerah. Suatu saat menimbulkan ledakan hingga ke daerah lain, seperti yang terjadi sekarang. Setelah ditelusuri, didapat bahwa mereka yang terkena difteri sekarang, 66% tidak imunisasi dan 33% imunisasi tidak lengkap.
Vaksinasi DPT dasar dilakukan tiga kali, yakni saat bayi berusia 2-3-4 bulan (jadwal Posyandu/Puskesmas), atau 2-4-6 (jadwal IDAI). Lalu, dilakukan booster (vaksinasi ulangan) di usia 18 bulan (DPT4) dan 5 tahun (DPT5). Sejak sekitar tiga tahun terakhir, DPT4 juga diberikan secara gratis di Puskesmas/Posyandu. Menurut Prof. Sri, seringnya imunisasi dasar lengkap, tapi tidak dilakukan booster hingga masuk SD.
Di sekolah, vaksin difteri masuk program BIAS (Bulan Imunisasi Anak Sekolah). Yakni di kelas 1 (DPT6), kelas 2 (Td) dan di kelas 5 (Td). “Kalau tidak dilakukan booster di usia 18 bulan dan 5 tahun, kita kejar di BIAS. Namun anak sudah bisa kena difteri duluan sebelum BIAS karena terlalu lama bolong,” terangnya. Karena dilakukan di sekolah, cakupan BIAS sangat tinggi. Sayangnya, ini tidak cukup melindungi anak bila imunisasi dasar serta DPT4 dan DPT5 bolong-bolong. Perlindungan jadi tidak maksimal. Inilah mengapa bisa sampai terjadi KLB padahal DPT sudah masuk program imunisasi dasar dan BIAS.
DPT adalah vaksin mati. Secara umum, lebih aman tapi proteksi yang diberikan vaksin mati tidak sebagus vaksin hidup karena sel-sel memori cepat berkurang. Perlu terus diulang dengan booster agar sel memori terangsang, sehingga tubuh membentuk antibodi. Selewat usia 7 tahun, vaksin difteri ditulis dengan huruf kecil (d), tidak lagi huruf kapital (D). Ini menandakan dosis yang berbeda; dosis d = 1/10 D. ini disebut dosis dewasa; lebih kecil karena antibodi sudah terbentuk melalui vaksinasi dasar, tinggal diperkuat. Di usia 18 tahun, vaksinasi Td bisa kembali dilakukan untuk meningkatkan lagi antibodi yang mungkin sudah turun. (nid)