Banyak faktor bisa menyebabkan depresi pascamelahirkan. Terdiri dari fluktuasi hormonal, kondisi psikososial, sosioekonomi, serta kondisi ibu setelah melahirkan. Namun, penyebab pasti depresi pascapartum belum diketahui pasti. Penyebabnya bisa beberapa faktor secara bersamaan. Dr. Suryo Dharmono dari RS St. Carolous, Jakarta, membagi faktor pencetus menjadi tiga: faktor ibu, anak dan lingkungan.
Faktor Ibu
Yang bisa mencetuskan depresi antara lain perubahan hormonal, riwayat depresi sebelumnya, genetik, kepribadian ibu dan kesiapan ibu dalam memelihara anak.
Prof. Dr. Ali Baziad, SpOG dari RS Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, menyatakan, “Belum jelas, apakah depresi pascamelahirkan dipengaruhi oleh hormon atau tidak. Fluktuasi homon sedikit sekali pengaruhnya.”
Faktor lain adalah riwayat depresi. Wanita yang pernah mengalami depresi - depresi saat hamil atau pada kehamilan sebelumnya – cenderung mengalami depresi pascapartum. Faktor genetik juga berpengaruh. Kelelahan dan kesiapan ibu, juga bisa berpengaruh.
Depresi pascapartum lebih sering dialami pada kehamilan pertama, bisa juga pada kehamilan-kehamilan berikutnya. Hal ini terkait dengan kesiapan ibu dalam menjalani peran barunya. “Ibu yang belum siap, yang kepribadiannya belum matang, berisiko lebih tinggi mengalami depresi pascapartum,” kata dr. Suryo.
Faktor Anak
Misalnya, kalau bayi yang baru dilahirkan sakit maka akan membuat si ibu merasa terbebani secara berlebihan.
Infeksi saat kelahiran juga daspat berpengaruh pada ibu dan bayinya. Penyakit yang terjadi saat melahirkan, juga dapat mempengaruhi. Misalnya, ibu mengalami perdarahan berat yang menyebabkan kondisinya lemah.
Hal lain misalnya bayi yang dilahirkan tidak sesuai dengan yang dikehendaki. “Bayinya dianggap tidak cakap, atau jenis kelaminnya tidak sesuai harapan. Apalagi kalau bayinya cacat,” ujar dr. Suryo.
Faktor Lingkungan
”Lingkungan itu menyangkut suami, mertua dan kultur extended family,” ujar dr. Suryo. Perhatian suami sangat penting. Suami yang mendampingi saat istri melahirkan dan ikut mengantar ketika kontrol, akan memberi rasa aman.
Suami juga harus memahami gejolak emosi istri setelah melahirkan, mengerti dan ikut mendampingi istri jika si kecil rewel di malam hari.
Menurut Prof. Ali, ”Jika ada masalah dengan suami, apalagi suami selingkuh saat istri hamil, risiko depresi pascapartum menjadi lebih besar.” Kultur extended family di negara kita, umumnya positif. Sudah seperti ’kewajiban’ bagi ibu, untuk menemani anaknya setelah melahirkan.
Hal tersebut menimbulkan rasa aman, mengurangi kerepotan dan membantu menyesuaikan diri dengan bayi dan peran baru sebagai ibu. Perubahan dari kultur yang bersifat extended family ke nuclear culture yang individual, sering menjadi beban bagi wanita pascamelahirkan. (vit)
Baca juga:
- Atasi Depresi Setelah Melahirkan
- Asam Folat Cegah Depresi Pascamelahirkan
- Terapi Depresi Pascamelahirkan