Anemia defisiensi besi (ADB) berdampak pada masa depan anak. Anak menjadi pendek (stunting), kemampuan belajar menurun, dan bila terjadi dalam jangka panjang efeknya bisa menetap.
Anemia Convention 2017 melaporkan prevalensi anemia di Asia Tenggara dan Afrika mencapai 85%, wanita dan anak-anak adalah golongan paling berisiko. Sekitar 202 juta wanita di Asia Tenggara usia 15-49 tahun terjangkit anemia. Sementara secara global hampir 600 juta anak usia prasekolah dan usia sekolah mengalami anemia.
Anemia merupakan kondisi jumlah sel darah merah atau konsentrasi hemoglobin (zat pengangkut oksigen dalam darah) tidak mencukupi kebutuhan fisiologis tubuh. Lebih dari setengah kasus anemia disebabkan oleh defisiensi besi (Fe). Dijelaskan oleh Prof. Dr. dr. Soedjatmiko, SpA(K), MSi, anggota Satgas Anemia Defisiensi Besi Ikatan Dokter Anak Indonesi (IDAI), bahwa kekurangan besi akan mengganggu tumbuh kembang anak.
Baca juga : Waspadai Komplikasi Anemia Defisiensi Besi
Zat besi penting untuk pembentukan otot, juga sistem saraf (saraf pusat di otak atau saraf tepi yang menjulur ke organ tubuh), sistem imunitas, dll. Kekurangan besi mempengaruhi kemampuan motorik kasar (merangkak, duduk, berdiri, dst), motorik halus (menggenggam benda, menulis, merangkai, dll). Juga kemampuan bicara, memori dan pemecahan masalah.
Usia balita (0-5 tahun) adalah kelompok yang paling tinggi mengalami kekurangan besi. Tercatat kekurangan besi lebih tinggi pada usia bayi, terutama bayi prematur (sekitar 25-85%), dan bayi yang mengonsumsi ASI eksklusif tanpa suplementasi.
Salah satu penyebabnya, menurut Prof. Soedjatmiko, akibat kesalahan pemberian makanan pendamping ASI (MPASI). “Banyak informasi yang salah mengatakan bayi baik diberi bubur tepung. Ini kan hanya karbohidrat. Proteinnya mana? MPASI setelah 6 bulan harus lengkap dan seimbang. Ada karbohidrat, protein dan sayur, karena di sana ada besi, yodium, dan zat-zat penting lain.
Baca juga : Risiko Anak “Stunting” Akibat Puree
“Demikian juga pemberian MPASI sereal terlalu dini (di usia 4 bulan) akan mengganggu penyerapan besi. Sereal akan mengikat zat besi. Sereal dengan fortifikasi besi boleh diberikan kalau usia bayi lebih dari 6 bulan,” terang Prof. Soedjatmiko dalam acara Merck Pediatric Forum 2018, beberapa waktu lalu.
Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2013 menyatakan pola makan orang Indonesia saat ini terbukti kekurangan zat besi; hanya mencukupi 50-70% kebutuhan zat besi. Padahal di satu sisi dalam 2 tahun pertama kehidupan si bayi kebutuhan besi meningkat hingga 2 kali lipat.
Baca juga: Sampai 2 Tahun, Anak Tak Butuh Banyak Sayur
“Jika saat hamil ibunya cukup besi, belum tentu bayinya juga cukup. Mungkin bayi sakit sehingga nafsu makan turun. Demikian pula bila besinya cukup saat bayi, belum tentu ketika remaja,” terang Prof. Soedjatmiko.
Sehingga penting merubah pola makan (sesuai gizi seimbang), dan ditambah suplementasi besi. Jurnal ilmiah Clinics in Perinatology (2009) dan Pediatrics (2010) merekomendasikan suplementasi besi sebaiknya diberikan mulai usia 4-8 minggu dan dilanjutkan sampai usia 12-15 bulan, tanpa melihat usia kelahiran dan berat lahir. Suplementasi besi diberikan kepada semua anak, dengan prioritas usia balita, terutama 0-2 tahun. (jie).