terapi gizi dan manfaat probiotik untuk lansia

Terapi Gizi untuk Lansia, dan Manfaat Probiotik

Orang lanjut usia (lansia) atau yang berusia 60 tahun ke atas, kerap mengalami berbagai gangguan Kesehatan. Banyak factor yang terlibat dalam hal ini. Misalnya saja penurunan fungsi organ gangguan status fungsional, hingga perubahan kondisi fisik dan psikis. Semua ini bisa memunculkan masalah malnutrisi, yang akan memperburuk Kesehatan lansia.

Secara umum, kebutuhan energi pada lansia lebih rendah 300 – 500 kkal daripada dewasa. “Volume makanan untuk lansia lebih sedikit daripada dewasa, tapi lebih padat protein, vitamin dan mineral, serta rendah lemak jenuh,” ungkap Triyani Kresnawan, DCN, MKes, RD, FISQua. Ia melanjutkan, makanan perlu dipilih yang bertekstur lembut/lebih lunak agar mudah dikunyah dan dicerna, serta tidak berbumbu tajam.

Isi piringku pada lansia sedikit berbeda. Di tengahnya ada “piring kecil” berisi minyak sehat. Untuk piring besarnya, ½ piring berisi sayur, buah, serta bumbu dan rempah. “Seperempat piring  berisi biji-bijian sebagai sumber karbohidrat kompleks, dan ¼ lagi berisi protein, yang meliputi protein hewani, nabati, dan produk susu rendah lemak,” ujarnya, dalam Webinar Kesehatan yang diselenggarakan Yakult Indonesia Persada bersama OTC Digest, Sabtu (23/9/2023).

 

Terapi Gizi untuk Lansia dengan Diabetes dan Penurunan Fungsi Ginjal

Diabetes termasuk salah satu penyakit yang banyak dialami oleh lansia. “Komplikasi diabetes yang paling banyak yaitu penyakit ginjal kronis. Angkanya mencapai 50%,” ucap Triyani. Ini disebut juga diabetes kidney disease (DKD) atau nefropati diabetik.

Terapi gizi pada lansia dengan DKD tidak sama dengan dewasa. Pada dewasa dengan DKD, perlu dilakukan diet rendah protein. Namun pada lansia, dilihat dulu apakah ada kondisi PEW (protein-energy wasting). Kalau ada PEW, maka pembatasan protein ditunda dulu. Apalagi kalau fungsi ginjanya stabil, dan progresivitas penyakit ginjalnya lambat,” terangnya. Pada kondisi seperti ini, protein bisa diberikan sebanyak 0,9 – 1,1 g/kg BB.

Sertifikat Webinar Ahli Gizi 23 September 2023

Pembatasan protein diperlukan pada lansia DKD dengan penyakit ginjal yang progresif pada stadium lanjut. Rekomendasinya yaitu 0,8 g/kgBB. Bila progresivitasnya cepat, maka bisa diberikan sangat rendah protein, ditambah asam amino esensial. “Faktor-faktor lain juga harus diperhitungkan, seperti depresi, frailty, hingga kondisi sosioekonomi,” tegas Triyani.

Pemililhan protein bisa bervariasi, hewani dan nabati. Menurut penelitian, diet PLADO (Plant-Dominant Low-Protein Diet) aman dan bermanfaat. “Pasien boleh makan protein nabati. Komposisinya bisa 50%, atau disesuaikan dengan kondisi tiap pasien,” ujarnya.

Triyani mengemukakan manfaat probiotik pada pasien DKD, berdasarkan studi oleh Yali Dai, dkk (2022). “Dalam studi tersebut, ditemukan bahwa probiotik bisa menunda perkembangan kerusakan fungsi ginjal lebih lanjut, meningkatkan metabolisme glukosa dan lipid, serta mengurangi peradangan dan stress oksidatif pada pasien DKD,” paparnya.

Tidak ketinggalan, monitoring dan evaluasi harus terus dilakukan. “Kita evaluasi apakah target tercapai, apakah ada perbaikan, dan bagaimana kuallitas hidup pasien. Kalau tujuan tidak tercapai, maka perlu berkolaborasi dengan DPJP (dokter penanggung jawab pelayanan) untuk mempersiapkan pasien ke dialisis,” tandasnya.

 

Studi Kasus di RSHS Bandung

Yesi Herawati, S.Gz, M.Kes, RD memaparkan studi kasus mengenai pemberian probiotik cair pada pasien lansia DKD dengan gangguan pencernaan di ruang ICU RS Hasan Sadikin (RSHS), Bandung. Ny. M (61 tahun) masuk ICU dengan kondisi kritis. Di antaranya, ia mengalami syok sepsis yang diperberat hospital acquired pneumonia, gagal napas, AKI (acute kidney injury), ensefalopati, dan stroke berulang. “Berdasarkan MNA (mini nutritional assessment), skor totalnya 7, yang menandakan malnutrisi,” ujarnya.

Saat masuk ICU, pasien dipuasakan karena mengalami stress ulcer. Asupan makan menurun sejak 5 bulan lalu, dan makin berkurang dalam 1 bulan terakhir (3x dirawat di RS karena stroke). “Rata-rata asupan makan dalam sebulan terakhir hanya 50-60% dari kebutuhan,” jelas Yesi.

Tujuan intervensi gizi yang pertama yaitu mengistirahatkan saluran cerna. Yang kedua, barulah untuk membantu menurunkan kadar gula darah, ureum, dan kreatinin. Rencana intervensi hari I yaitu dengan TPN (terapi pengganti nutrisi) 10% kebutuhan. Hari II: bila NGT (sonde) jernih, nutrisi diberikan secara enteral + parenteral (30% kebutuhan). Dimulai diet cair dengan 6x50 cc, naik bertahap dengan pemberian probiotik.

“Di RSHS sudah ada pedoman agar pasien critical ill diberikan probiotik,” ujar Yesi. Pada kasus ini, probiotik mulai diberikan di hari III, sebanyak 2 x 65 cc. “Kami menggunakan probiotik cair. Pemberiannya dijeda dengan waktu pemberian antibiotik,” imbuhnya.

Pasien yang masuk ruang ICU biasanya membutuhkan antibiotik. Mereka yang masuk ICU kondisinya pasti kritis, sedangkan kuman di ruang ICU sangat ‘ganas’. Karenanya, antibiotik krusial untuk mengatasi infeksi yang terjadi di ruang ICU. Namun di sisi lain, antibiotik bisa mengganggu keseimbangan microbiota usus, yang bisa menimbulkan diare. “Penelitian menunjukkan, probiotik bisa mengurangi risiko diare terkait antibiotik. Makanya kami berikan probiotik kepada pasien critical ill,” tutur Yesi.

 

Probiotik untuk Lansia

Seiring bertambahnya usia, tubuh kita pun menua. Namun ternyata, proses penuaan (aging) turut dipengaruhi oleh mikrobiota usus. “Aging merupakan akibat dari proses proteolysis yang dilakukan oleh mikroorganisme proteolitik/putrefactive yang menghasilkan metabolit bersifat toksis,” jelas Prof. Dr. Ir. Endang S. Rahayu, MS.

Mikroorganisme yang dimaksud antara lain bakteri Clostridia, yang menghidrolisis protein menjadi komponen merugikan seperti penol, indol, dan ammonia. “Komponen-komponen toksik inilah yang diserap tubuh, dan diduga sebagai penyebab auto-intoksikasi yang berakibat pada proses degeneratif,” lanjut Prof. Trisye, begitu ia disapa.

Teori ini pertama kali diungkapkan oleh Ellie Metchnikoff, peraih Nobel tahun 1908. Ia mengamati bahwa masyarakat Bulgaria memiliki usia lebih panjang, dan sehat hingga usia lanjut. “Ia menyimpulkan bahwa hal ini berkaitan dengan kebiasaan mereka mengonsumsi susu fermentasi. Ia berteori, bakteri pada susu fermetasi tersebut membawa manfaat untuk usus, sehingga bisa menghambat proses penuaan,” ujar Prof. Trisye.

Konsep ini dilanjutkan oleh seorang peneliti di Jepang, Dr. Minoru Shirota, puluhan tahun kemudian. Saat itu di tahun 1920-an, sanitasi dan higienitas di Jepang masih buruk, sehingga banyak yang mengalami diare. “Beliau berpikir, bila bakteri bermanfaat bisa dikembangbiakkan dan dikonsumsi masyarakat, kasus diare yang terjadi secara nasional diharapkan bisa diatasi,” imbuhnya.

Pada 1935, produk probiotik pertama diciptakan di Jepang oleh Dr. Shirota. Beberapa dekade kemudian tepatnya pada 1982, Prof. Mitsuoka berhasil menggambarkan dengan detil bagaimana kerja probiotik. “Dari hasil penelitiannya, ditemukan bahwa di dalam suus terdapat triliunan mikroorganisme. Ada bakteri baik yang bersimbiosis dengan kita, tapi ada juga yang bersifat pathogen sehingga bisa menyebabkan sakit,” terang Prof. Trisye.

Bakteri baik membantu proses pencernaan dan penyerapan nutrisi, menyintesis vitamin, mencegah kolonisasi pathogen, meregulasi sistem imun, dan memperlambat proses aging. Konsumsi probiotik secara rutin dan kontinyu akan dysbiosis (ketidaksiembangan mikrobiota usus), dan menyeimbangkan mikrobiota usus sehingga berada dalam kondisi normobiosis yang kita butuhkan.

Cukup banyak penelitian mengenai manfaat probiotik untuk lansia. Misalnya oleh Nagata S, dkk (2011), yang meneliti efek dari asupan susu fermentasi dengan L. casei Shirota strain terhadap infeksi pencernaan akibat norovirus. Penelitian ini melibatkan 77 lansia (rerata usia 84 tahun) yang tinggal di panti jompo. “Hasilnya, durasi demam lebih pendek pada kelompok yang mendapat probiotik. Populasi bakteri baik di usus pun meningkat secara signifikan,” ujar Prof. Trisye.

Penelitian lain misalnya oleh Yukitoshi Aoyagi, Ph.D, yang disampaikan saat 28th Symposium on Intestinal di Tokyo (2019). “Hasil penelitian dengan subyek umur >65 tahun menunjukkan, konsumsi Yakult 3-6 botol/minggu serta jalan kaki 7000-8000 langkah/hari menjaga kesehatan usus serta menutunkan gejala hipertensi dan konstipasi,” papar Prof. Trisye.

Tidak semua makanan/minuman fermentasi bisa disebut sebagai probiotik. “Untuk disetujui sebagai probiotik, produk fermentasi harus dibuktikan melalui penelitian bahwa dia aman, efektif, dan bisa mencapai usus dalam keadaan hidup. Kandungan bakterinya pun harus jelas, baik nama maupun jumlahnya,” pungkas Prof. Trisye. (nid)

_______________________________________________

Ilustrasi: Lifestylememory on Freepik