pengobatan hipertensi dan penyakit ginjal kronis

Pengobatan Hipertensi pada Penyakit Ginjal Kronis

Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan salah satu masalah utama kesehatan dunia. Di Amerika Serikat, angkanya mencapai 200 kasus/juta penduduk/tahun, dengan prevalensi 11,5%. “Namun di Indonesia, datanya sangat jauh dari kenyataan. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2018, prevalensinya hanya 0,38%. Padahal menurut temuan Prodjoduadji (2009), mencapai 12,5%, mirip dengan angka di AS,” ujar dr. Ni Made Hustrini, Sp.PD-KGH. Pengobatan hipertensi pada penyakit ginjal kronis membutuhkan pakem tersendiri.

PGK adalah kelainan pada struktur atau fungsi ginjal yang berlangsung >3 bulan, dengan implikasi terhadap kesehatan. Penandanya antara lain albuminuria, kelainan sedimen urin, kelainan elektrolit, dan kelainan struktur pada ginjal yang terlihat melalui pencitraan.

PGK meningkatkan risiko gangguan kardiovaskular. “Kematian akibat kardiovaskular jauh lebih tinggi pada orang dengan PGK ketimbang populasi umum,” tutur dr. Hustrini, dalam Webinar Kedokteran bertajuk The Interplay Between Hypertension and Kidney Disease: Understanding the Link yang diselenggarakan oleh OTC Digest bekerja sama dengan PT Wellesta CPI Healthcare dan PT Takeda Indonesia, Sabtu (10/6/2023).

Penyakit Ginjal Kronis dan Hipertensi

Bukan rahasia lagi, penyakit ginjal kronis dan hipertensi saling berkaitan sangat erat. “Hipertensi bisa menjadi penyebab ataupun akibat dari PGK,” ujar dr. Hustrini. Hipertensi merupakan masalah yang umum pada pasien PGK; insiden dan prevalensinya meningkat seiring penurunan glomerular filtration rate (GFR). Sebaliknya pada orang dengan hipertensi, kenaikan tekanan darah sistolik berhubungan dengan insiden PGK dan penurunan fungsi ginjal yang lebih cepat.

Patogenesis hipertensi pada PGK meliputi lima hal: peningkatan tonus simpatetik, peningkatan sensitivitas garam, upregulasi RAAS, dusfungsi endotel, dan meningkatnya kekakuan arteri. Pasien PGK memiliki profil tekanan darah yang khas. “Ini meliputi dua fenotipe hipertensi yang penting, yaitu hipertensi nokturnal dan hipertensi terselubung yang tidak terkontrol, serta hipertensi resistan,” terang dr. Hustrini.

Link Sertifikat Webinar 10 Juni 2023

Adapun pada hipertensi, tingginya tekanan darah yang berlangsung kronik menyebabkan remodeling pada arteri, sehingga kemampuannya untuk menyempit dan melebar berkurang. “Seiring waktu, naiknya tekanan arteri sistemik juga terjadi di ginjal. Terjadilah hipertensi glomerular, nefrosklerosis, dan penurunan fungsi ginjal yang progresif,” papar dr. Tities Anggraeni Indra, Sp.PD-KGH, FINASIM dalam kesempatan yang sama.

Ia melanjutkan, baik hipertensi maupun PGK merupakan faktor risiko independen untuk penyakit kardiovaskular. “Bila seseorang mengalami keduanya, maka risiko mortalitas dan morbiditas akibat kardiovaskular pun meningkat lebih tinggi lagi,” tegasnya. Untuk itu, pengobatan hipertensi pada penyakit ginjal kronis adalah hal yang mutlak dilakukan.

Pengobatan Hipertensi pada Penyakit Ginjal Kronis

Menurunkan tekanan darah menjadi salah satu target penting dalam tatalaksana PGK. “Penurunan tekanan darah memberikan efek renoproteksi sekaligus kardioproteksi,” ucap dr. Hustrini. Guideline KDIGO 2021 menuliskan target tekanan darah sistolik pada pasien PGK dengan detil. Untuk pasien PGK dengan/tanpa diabetes dan tidak menerima hemodialysis, targetnya adalah <120 mmHg, menggunakan pengukuran tekanan darah terstandar di ruang praktik dokter.

Sebuah meta-analisis oleh Malhotra, dkk (JAMA, 2017) meneliti 18 dari 30 penelitian kontrol-acak, yang melibatkan 15.924 pasien PGJ dan 1.293 kematian. Rerata tekanan darah sistolik yaitu 138 mmHg pada kedua lengan pengobtan (lebih intensif vs kurang intensif). “Pada pengobatan yang lebih intensif, rerata tekanan darah sistolik turun 16 mmHg menjadi 132 mmHg, sedangkan pada yang kurang intensif, penurunannya 8 mmHg menjadi 140 mmHg,” tutur dr. Hustrini. Disimpulkan bahwa pengendalian tekanan darah yang lebih intensif berhubungan dengan risiko mortalitas yang lebih rendah pada pasien dengan PGK dan hipertensi.

Obat golongan ARB atau ACE inhibitor merupakan terapi utama pada pasien hipertensi dan PGK. Berdasarkan KDIGO, pengobatan dengan ACE atau ARB bisa diberikan pada pasien hipertensi dengan PGK, albuminuria, dengan/tanpa diabetes. “ARB atau ACE harus diberikan dalam dosis tertinggi yang bisa ditoleransi,” ujar dr. Hustrini. Pengobatan dengan ARB/ACEi bisa dilanjutkan kecuali bila serum kreatinin meningkat hingga >30% dalam 4 minggu sejak awal pengobatan atau peningkatan dosis.

Perubahan pada tekanan darah, serum kreatinin, dan serum kalium harus dicek 2-4 minggu setelah inisiasi atau peningkatan dosis ARB/ACEi, tergantung dari GFR dan serum kalium. “Bila terjadi peningkatan kreatinin, penurunan GFR, atau hiperkalemia yang tidak terkontrol, turunkan dosis atau hentikan obat,” tuturnya.

Perlu diperhatikan pada PGK lanjut, target tekanan darah jarang tercapai hanya dengan satu jenis obat antihipertensi. “Biasanya tidak cukup hanya dengan satu macam obat. Dibutuhkan kombinasi dengan obat golongan lain, dengan mempertimbangkan kondisi tiap pasien. Kuncinya adalah individualisasi,” tegas dr. Hustrini.

Hal senada disampaikan oleh dr. Tities, mengenai strategi pengobatan pada hipertensi dan PGK berdasarkan Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi 2019. “Pada terapi inisial, kombinasikan dua obat yaitu ACEi atau ARB ditambah CCB, atau ACEi/ARB ditambah diuretik atau loop diuretic,” paparnya.

Pada langkah II, digunakan kombinasi tiga obat: ACEi/ARB ditambah CCB ditambah diuretik (atau loop diuretic). Sedangkan pada langkah III yaitu hipertensi resisten, maka pengobatan ditambah dengan spironolakton atau diuretik lain, alfa bloker, atau beta bloker.

Yang pasti, menurut dr. Hustrini, “Jangan pernah mengombinasikan ACE dengan ARB pada pasien PGK dan hipertensi, dengan ataupun tanpa diabetes.” Pengobatan hipertensi pada penyakit ginjal kronis memang membutuhkan penanganan yang tepat, disesuaikan dengan kondisi tiap pasien. (nid)

_____________________________________________________

Ilustrasi: stefamerpik on Freepik