mengelola hipertensi dan stroke secara benar

Mengelola Hipertensi dan Stroke, Apa yang Harus Diperhatikan?

Hipertensi sistemik merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas terkait kardiovaskular di dunia. “Dua dari 10 penyebab kematian terbanyak di Indonesia yaitu stroke dan penyakit jantung iskemik, salah satu pemicunya adalah hipertensi,” ujar dr. Rakhmad Hidayat, Sp.S(K), MARS. Hipertensi dan stroke memang sangat berkaitan.

Secara umum, stroke terbagi menjadi dua, yaitu stroke iskemik (sumbatan) dan stroke hemoragik (perdarahan). Di dunia, stroke iskemik sekitar 85%, dan stroke hemoragik ‘hanya’ 15%. “Namun di Indonesia, stroke hemoragik mencapai 33%. Ini menunjukkan tingginya kasus hipertensi di Indonesia,” papar dr. Rakhmad, dalam Webinar Kedokteran bertajuk Hypertension and Stroke: Understanding the Link and Its Significance yang diselenggarakan OTC Digest dengan PT Wellesta CPI Healthcare dan PT Takeda Indonesia, Sabtu (27/5/2023).

Hipertensi memang bisa menyebabkan stroke iskemik maupun hemoragik. Namun pada stroke hemoragik, hipertensi merupakan penyebab utama.

Hipertensi dan Stroke, Bagaimana Tatalaksananya?

Berdasarkan 2020 Global Hypertension Practice Guidelines dari International Society of Hypertension (ISH), pengobatan hipertensi dibagi menjadi dua kelompok besar: esensial dan optimal. Optimal digunakan pada pendapatan tingi, dan standar perawatan berbasis bukti. Adapun esensial digunakan pada pendapatan rendah-sedang, dengan standar perawatan minimal.

Dalam kasus hipertensi dan stroke, skema pengobatan dibagi menjadi tiga, berdasarkan stroke yang dialami pasien. Pada stroke iskemik akut, target pengobatan yaitu agar tekanan darah sistol <180 mmHg. Pada stroke hemoragik akut, targetnya 140-150 mmHg.

“Untuk pencegahan sekunder, pengobatan harus lebih agresif. Targetnya yaitu mencapai tekanan darah optimal, bukan lagi esensial,” jelas dr. Rakhmad. Pada tahap ini, tekanan darah diturunkan hingga <130/80 mmHg, dan pada pasien lansia <140/80 mmHg. Pencegahan sekunder bertujuan mencegah stroke berulang.

Tatalaksana stroke juga perlu mempertimbangkan keadaan hipertensi krisis, “Ini adalah kondisi di mana terjadi peningkatan tensi mendadak pada pasien hipertensi, yaitu sistol >180 mmHg dan/atau diastole 120 mmHg, yang membutuhkan penanggulangan segera,” ujar dr. Taufik Mesiano, Sp.S(K), dalam studi kasus di kesempatan yang sama.

Hipertensi krisis dikelompokkan menjadi dua kategori: emergensi, dan urgensi, yang keduanya membutuhkan penanganan berbeda. Pada hipertensi emergensi, terjadi kenaikan tensi mendadak yang disertai kerusakan organ target yang progresif. “Pada keadaan ini, diperlukan tindakan penurunan tekanan darah dalam kurun waktu menit atau jam,” jelasnya.

Link Sertifikat Webinar 27 Mei 2023

Adapun hipertensi urgensi yaitu kenaikan tensi mendadak yang tidak disertai kerusakan organ target. Penurunan tekanan darah pada kondisi ini harus dilakukan dalam kurun waktu 24-48 jam.

Candesartan sebagai Terapi Kombinasi

Setelah masa kritis stroke berlalu, dimulailah pengobatan untuk prevensi sekunder dengan rawat jalan. “Pada pasien hipertensi yang sudah mengalami stroke atau TIA, target tekanan darah yaitu <130/80 mmHg, untuk mengurangi risiko stroke berulang dan kejadian kardiovaskular,” ujar dr. Taufik, senada dengan yang disampaikan oleh dr. Rakhmad.

Monoterapi maupun terapi kombinasi fixed-dose dengan pil tunggal, sama-sama memiliki tempat di Guideline ISH 2020. Monoterapi diberikan pada pasien hipertensi derajat 1 dengan risiko rendah. Pada pasien hipertensi derajat 1 risiko sedang dan tinggi, serta derajat dua, pengobatan harus dengan terapi kombinasi.

“Candesartan adalah salah satu obat antihipertensi yang paling banyak diteliti,” ungkap dr. Rakhmad. Candesartan memiliki keunggulan tersendiri. Dibandingkan ARB lainnya, candesartan bisa menurunkan tekanan darah diastolik lebih banyak secara signifikan. Candesartan juga lebih unggul dibandingkan losartan dalam menurunkan tekanan darah sistolik, serta dalam mengontrol tekanan darah sistolik dan diastolik di hari dosis yang terlewatkan (missed dose).

Berbagai studi menemukan, ARB merupakan pilihan terbaik untuk monoterapi maupun kombinasi fexed-dose. “Studi E-COST menemukan bahwa candesartan menurunkan insiden stroke sebesar 39%,” ujar dr. Rakhmad. Adapun studi SCOPE menemukan, pada pasien hipertensi sistolik terisolasi, pengobatan dengan candesartan menurunkan risiko stroke non-fatal sebesar 38%.

Kombinasi ARB candesartan dengan CCB menyeimbangkan kontra-regulasi, sehingga didapatkan penurunan tekanan darah yang sinergis, serta memberikan manfaat klinis komplementer. Penelitian oleh Rakugi Hiromi, dkk (Clinical Theraputics, 2012) menemukan kombinasi fixed-dose candesartan dengan amlodipine menurunkan tekanan darah sistol 26,8 mmHg dan diastol sebesar 16,2 mmHg.

Kombinasi fixed-dose candesartan dengan amlodipine juga ditemukan mampu mempertahan tekanan darah dalam jangka panjang. Obat ini bisa menjadi solusi bagi pasien hipertensi lansia yang cenderung memiliki komorbiditas, berisiko terhadap stroke dan penyakit kardiovaskular, kesulitan menelan, dan suka lupa minum obat.

Secara umum, obat kombinasi fixed dose memiliki manfaat tersendiri. “Dengan tablet kecil dan jumlah obat yang lebih sedikit, bisa meningkatkan kepatuhan minum obat,” ucap dr. Rakhmad. Selain itu juga menekan biaya, serta memperbaiki tolerabilitas.

Pasien tetap perlu kontrol ulang secara berkala, untuk monitoring dan evaluasi pengobatan. Bagaimanapun juga, hipertensi dan stroke membutuhkan penanganan khusus. Bila hipertensi sudah berhasil terkontrol, pasien bisa kontrol rutin di fasilitas kesehatan tingkat pertama. “Hipertensi harus bisa diobati di faskes satu,” pungkas dr. Rakhmad. (nid)

________________________________________

Ilustrasi: https://www.freepik.com/free-photo/medium-shot-man-monitoring-hid-blood-pressure_15186566.htm#page=8&query=stroke%20disease&position=14&from_view=search&track=ais