Osteoporosis (keropos tulang) adalah penyakit tulang ditandai menurunnya kepadatan massa tulang dan memburuknya partikel penyusun tulang, sehingga tulang rapuh dan mudah patah.
Di Indonesia, sekitar 3,6 juta orang menderita osteoporosis. Prevalensi wanita (usia 50-59 tahun) sebesar 24%, sedangkan pria (usia 60-70 tahun) sebesar 62%. Provinsi dengan risiko tinggi osteoporosis adalah Sumatra Selatan (27,75%), Jawa Tengah (24,02%), Yogyakarta (23,5%), Sumatra Utara (22,82%), Jawa Timur (21,42%), Kalimantan Timur (10,5%).
Setiap harinya terjadi mekanisme keseimbangan kalsium akibat mekanisme remodelling tulang (pembentukan-penyerapan tulang). Osteoporosis terjadi bila dalam jangka panjang aktivitas osteoklas melebihi osteoblas.
Baca juga : Awas, Remaja Juga Berisiko Osteoporosis
Osteoklas adalah sel besar di tulang yang bertugas menyerap jaringan tulang. Osteoblas adalah sel pembentuk tulang. Seiring bertambahnya usia, dipengaruhi oleh faktor lingkungan, hormon, aktivitas, diet, maka osteoklas menjadi tak terkendali, sehingga terlalu banyak menyerap jaringan tulang, akibatnya tulang menjadi keropos.
Menurut dr. Ade Tobing, SpKO, Pengurus Perhimpunan Osteoporosis Indonesia (PEROSI), osteoporosis disebut juga sebagai silent disease. Penyakit ini tidak menimbulkan gejala sampai terjadi patah tulang. Lokasi patah tulang paling sering akibat osteoporosis adalah di area lumbal (tulang belakang bawah), neck femur (pangkal paha) dan tulang radius (pergelangan tangan).
Curiga kemungkinan osteoporosis bila, “Patah tulang akibat cedera ringan, tubuh makin pendek/membungkuk dalam periode 3 bulan, atau nyeri tulang merata,” papar dr. Ade.
Deteksi dini
Karena tidak menimbulkan gejala, maka diperlukan pemeriksaan laboratorium untuk deteksi dini osteoporosis. Pemeriksaan serum dan air seni dipakai untuk mengetahui biomarker (penanda biokimiawi) gangguan pembentukan dan penyerapan tulang.
Pengambilan darah sebaiknya pagi hari setelah puasa semalam. Untuk urin pertama/kedua pagi hari setelah puasa semalam. Dilakukan pagi karena biomarker tulang mencapai kadar tertinggi di dalam urin dan serum pukul 4.00-8.00 pagi hari.
Hasil analisis ini diperlukan dokter untuk menentukan terapi yang sesuai, memonitor penderita yang mendapatkan terapi kortikosteroid jangka panjang, menilai respon penderita terhadap terapi, dan mempelajari proses perjalanan osteoporosis.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan radiologi dengan rontgen, CT scan, MRI, bone scanning, atau PET-CT dapat dilakukan untuk menentukan kasus osteoporosis. Radiolog akan menilai struktur kepadatan tulang.
Untuk mengetahui kepadatan massa tulang, dilakukan pemeriksaan densitometri berupa dual-X-ray absorptiometry. Dari hasilnya, maka dokter memastikan diagnosis, memperkirakan risiko patah tulang, dan memonitor terapi. (jie)