Hindari Penggunaan Obat Asma SABA Berlebihan
obat_asma_SABA

Hindari Penggunaan Obat Asma SABA Berlebihan

Bagi mereka yang memiliki asma, obat semprot dirasa bagaikan malaikat penolong. Begitu serangan asma menyerang, hanya dengan 1-2 semprotan, napas kembali lega. Tak heran bila kita menemukan obat semprot di dalam tas penyandang asma. Obat semprot yang dimaksud adalah obat semprot jenis pelega, yang mengandung SABA (short-acting beta-agonist). Obat ini bekerja cepat merelaksasi otot-otot pada bronkus. Saluran napas yang menyempit saat serangan asma pun menjadi lega kembali dengan obat asma SABA.

Sayangnya, penggunaan SABA cenderung berlebihan. Cukup banyak penyandang asma yang membeli dan menggunakannya tanpa pengawasan dokter. “Padahal, penggunaan SABA yang berlebihan bisa menimbukan efek samping seperti berdebar-debar, dan tangan bergetar,” ungkap dr. H. Mohamad Yanuar Fajar Sp.P, FISR, FAPSR, MARS dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

Tidak disarankan untuk sedikit-sedikit menggunakan obat semprot. Memang, obat semprot lebih aman karena bekerja lokal di saluran pernapasan, dan dosisnya jauh lebih kecil ketimbang obat minum. Namun bukan berarti bisa dipakai sesering mungkin. “Kalau harus memakai SABA 3-5 kali dalam sebulan, berarti asma tidak terkontrol," tegas dr. Yanuar.

Pada kasus asma yang tidak terkontrol, disarankan untuk menggunakan obat semprot jenis pengontrol. Obat pengontrol mengandung LABA (longt-acting beta-agonist) dan antiinflamasi, untuk memperbaiki peradangan kronis di saluran napas sehingga mengurangi risiko kekambuhan.

Baca juga: Mengenal Dua Jenis Obat Semprot Asma – Apa Bedanya dan Kapan Digunakan?

Obat Asma SABA Jangan Berlebihan

Penggunaan SABA terus menerus juga tidak mengurangi frekuensi serangan asma, bahkan bisa memperburuk asma. Hal ini disampaikan oleh dr. Feddy, Medical Director AstraZeneca Indonesia. Menurutnya, SABA hanya mengatasi satu masalah yaitu mengatasi penyempitan bronkus, dan tidak mengatasi inflamasi yang terjadi pada saluran napas. “Ibaratnya jalan berlubang kita kasih papan, itulah SABA; tapi lubangnya tidak diatasi. Akhirnya lubang makin berat, dan kita pun butuh papan lebih banyak lagi,” tuturnya.

Laporan strategi GINA (Global Initiative for Asthma) 2019-2022 menunjukkan bahwa penggunaan inhaler pelega SABA secara rutin (bahkan meski hanya dalam 1-2 minggu) kurang efektif. Justru menyebabkan lebih banyak peradangan pada saluran napas, serta dapat mendorong kebiasaan buruk penggunaan SABA secara berlebihan.

“Asma yang tidak tertangani dengan baik meningkatkan hospitalisasi. Karena itu direkomendasikan obat pelega dan pengontrol,” ungkap Feddy. Mereka yang terlalu sering mengunakan SABA berisiko tinggi mengalami serangan asma, dirawat di rumah sakit, bahkan dalam beberapa kasus, kematian lantaran serangan asma tidak bisa tertangani dengan optimal.

Data menunjukkan bahwa pasien asma di Indonesia masih membutuhkan pengobatan yang lebih baik untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Studi SABINA (SABA Use in Asthma) menunjukkan bahwa 37% pasien asma di Indonesia diresepkan inhaler pelega jenis short-acting beta-agonist (SABA) sebanyak ≥3 kanister/tahun, di mana jumlah resep tersebut justru dapat meningkatkan risiko terjadinya serangan yang parah.

Gunakan SABA dengan Bijak

Bukan berarti obat asma SABA berbahaya dan harus dihindari. Obat ini tetap diperlukan, tapi harus dipergunakan dengan bijak. Jangan khawatir dengan anggapan ‘ketergantungan’ karena SABA tidak menyebabkan ketergantungan. "SABA hanya melegakan bronkus, tapi inflamasinya tidak. Sekitar 98% lega dengan SABA, tapi beberapa hari kemudian kambuh lagi karena inflamasinya belum tertangani," jelas dr. Yanuar. Inflamasi yang tidak tertangani membuat asma makin sering kambuh, sehingga makin sering membutuhkan SABA. "Untuk itu dibutuhkan obat pengontrol. Jadi bukan ketergantungan SABA," imbuhnya.

Intinya, mereka dengan asma yang tidak terkontrol membutuhkan obat semprot jenis pelega (SABA) dan pengontrol (LABA+antiinflamasi). Jangan lupa, lakukan pemeriksaan rutin ke dokter. “Untuk memastikan kondisi asma terkontrol dan mendapatkan tindakan yang tepat, bukan hanya mencari pengobatan instan saat serangan asma muncul," pungkas dr. Yanuar. (nid)

____________________________________________

Ilustrasi: Image by Freepik