Orphan Drug dan Orphan Food | OTC Digest

Orphan Drug dan Orphan Food

Di negara maju seperti Amerika Serikat (AS), Jepang, Taiwan, dilakukan skrining pada bayi yang baru lahir. “Begitu ditemukan penyakit langka, bayi segera mendapat pengobatan. Makin dini ditemukan sebelum gejala muncul, bayi bisa tumbuh seperti anak lain,” tutur Dr. dr. Damayanti Rusli Sjarif, Sp.A(K), Ketua Divisi Nutrisi dan Penyakit Metabolik Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)/RSCM.

Di Indonesia belum ada program skrining seperti itu dan laboratorium untuk diagnosis belum tersedia. Selama ini, sampel dikirim ke negara lain agar diagnosis penyakit langka dapat ditegakkan. Diagnistik di negara lain itu tidak dipungut bayaran.

Indonesia berupaya mengembangkan diagnosis dan pengobatan. Dibangun gedung kembar di FK UI, sebagai pusat untuk mengembangkan diagnosis penyakit langka dan akses terhadap terapi. Tengah dikembangkan metode skrining dengan urin (air seni), seperti dikerjakan di luar negeri. Pemeriksaan enzim belum bisa dilakukan, tapi akan dikembangkan diagnostic tools untuk penyakit genetik yang bisa digunakan di seluruh Indonesia.

Sejak 2015, diselenggarakan pertemuan tiap hari Jumat. Dokter yang tergabung dalam tim penyakit langka berkumpul dan mendiskusikan kasus-kasus penyakit yang ditemukan di Jakarta dan berbagai daerah.

 Dokter dari berbagai daerah mengirim foto/video beserta keterangan pasien yang dicurigai menderita penyakit langka. Tim di RSCM meneliti tanda-tanda pada pasien. “Kami nilai dan kami instruksikan apa yang perlu diperiksa,” terang Dr. dr. Damayanti. Bila pemeriksaan diagnosis tak bisa dilakukan, tim akan meminta bantuan negara lain yang bisa melakukan. Dokter spesialis anak konsultan bidang nutrisi dan metabolik dari Aceh hingga Sulawesi, sudah dilatih untuk bisa mendeteksi penyakit langka, dan boleh meresepkan obat/nutrisi untuk pasien-pasien tersebut.

 

Pengobatan

Belum semua penyakit langka bisa didiagnosis. Dan setelah didiagnosis, “Ada yang bisa diobati, ada yang tidak. Yang bisa diobati dibagi lagi: pengobatan berupa obat atau makanan,” papar Dr. dr. Damayanti.

Pengobatan penyakit langka disebut orphan drug dan orphan food. Berbeda dengan obat umumnya, orphan drug maupun orphan food bersifat life saving (menyelamatkan nyawa) dan quality saving (menyelamatkan kualitas hidup). Bila terlambat diberikan, nyawa anak tidak tertolong atau kualitas hidupnya sangat buruk.

Masalahnya, orphan drug/food sulit didapat dan harganya mahal. Terapi pengganti enzim (TSE) untuk MPS (Mucopolysaccharidoses) tipe IV, misalnya, Rp 3 miliar/6 bulan dan dilakukan seumur hidup. Pengadaan orphan drug/food sulit, harus impor dan prosedurnya rumit dan lama.

 

Orphan drug

Penyakit langka MPS (Mucopolysaccharidoses) diobati dengan terapi sulih enzim (TSE). Pada pasien ini terjadi tumpukan GAG (glikosaminoglikan). “Tumpukan tidak bisa dihilangkan kecuali pakai enzim. Cuma itu obatnya,” terang Dr. dr. Damayanti. Dari 9 jenis MPS, TSE baru tersedia untuk MPS tipe I, II, IV dan VI. Untuk tipe III masih dalam penelitian. TSE untuk MPS tipe IV baru disetujui ijin edarnya oleg FDA (Badan Pengawas Obat dan Makanan AS) pada 2015.

Fero (15 tahun) penyandang MPS tipe IV yang menjalani TSE. Ia didiagnosis MPS saat berusia 2,5 tahun, dan saat itu belum ada terapi untuk MPS tipe IV. Keluarganya aktif mencari dokter yang melakukan penelitian terapi PMS tipe IV. Ketika TSE untuk MPES tipe IV disetujui ijin edarnya, sang ayah  menghubungi Dr. dr. Damayanti agar anaknya bisa mendapat terapi. TSE diberikan secara infuse, 1x seminggu. Setelah dua kali terapi, pilek yang kerap dialami hilang dan nafas Fero membaik. Namun kondisinya tidak bisa kembali seperti sebelum sakit. “Paling tidak, gejalanya tidak ada. Kalau MPS ditemukan sejak bayi dan langsung diberi enzim, anak akan tumbuh normal,” ujar Dr. dr. Damayanti.

Perjuangan Fero dan keluarganya mencari pengobatan, berbuah manis untuk pasien penyakit langka lainnya. Setelah dunia melihat RSCM berhasil melakukan TSE pada Fero, datang banyak bantuan. Umar Abdul Aziz (5 tahun), pasien MPS tipe II, mendapat donasi dari perusahaan farmasi Sanofi Genzyme, sejak Oktober 2016. Ada beberapa kandidat lain yang perlu mendapat donasi terapi; kini mereka menanti klarifikasi untuk masuknya obat.

Orphan drug lain yakni obat untuk PKU (phenylketonuria) jenis non klasik, di mana enzim untuk memecah asam amino phenylalanine masih sedikit berfungsi. “Pasien penyakit ini perlu tiga obat khusus,” ucap Dr. dr. Damayanti. Sejauh ini, ditemukan 3 pasien PKU; di Bali, Ternate dan satu lagi di Bandung. Obat didatangkan dari Malaysia. Karena mahal, keluarga ketiga pasien patungan membeli obat.

 

Orphan food

PKU jenis klasik perlu orphan food. Dr. dr. Damayanti pernah menangani pasien gadis dengan PKU yang lahir di Jepang. Begitu lahir ia terdeteksi melalui skrining dan segera diberi susu khusus bebas phenylalanine. Kerepotan terjadi saat pasien hendak kembali ke Indonesia. Produsen susu khusus dihubungi dan satu merespon. “Karena ini pasien pertama di Indonesia, produsen memberi susu gratis untuk satu tahun,” ungkap Dr. dr. Damayanti. Sayang, susu tertahan di Bea Cukai, tidak bisa keluar. Akhirnya dikembalikan ke pengirim karena biaya sewa gudang mahal.

Jepang memproduksi susu bebas fenylalanine, khusus untuk orang Jepang, tidak dijual ke bangsa lain. Akhirnya dokter di Jepang membolehkan keluarga pasien membawa susu itu ke Indonesia. Gadis itu sekarang sudah dewasa, tinggal di Belgia dan pintar bahasa Perancis. Ia beruntung karena langsung terdeteksi dan mendapat nutrisi yang tepat, sehingga kecerdasannya tidak terganggu akibat penumpukan phenylalanine. Pasien PKU klasik perlu menghindari makanan tertentu yang mengandung asam amino ini.

Kondisi isovaleric academia juga perlu susu khusus bebas leucin. Dr. dr. Damayanti bisa mendapat susu ini dari sebuah perusahaan di AS. Tiba di Indonesia, susu tertahan di Bea Cukai. Agar bisa diambil harus membuat surat yang prosesnya bisa berminggu-minggu. “Pasien akhirnya meninggal. Susu baru keluar setelah pasien tiada. Saya tidak mau hal seperti ini terulang,” ujarnya.

 

Bersambung ke: Penyakit Boleh Langka, Obat Jangan